JAKARTA - Ketika langkah konvensional tak lagi membuahkan hasil, pendekatan tidak biasa sering kali menjadi pilihan terakhir. Begitulah kira-kira gambaran yang bisa mewakili keputusan terbaru Asosiasi Sepak Bola Tertinggi Tiongkok (CFA) dalam merespons performa buruk tim nasionalnya. Setelah mengalami kekalahan menyakitkan dari Indonesia dan gagal lolos ke ajang paling prestisius sepak bola dunia, Tiongkok kini beralih ke dunia digital dengan mengumumkan pembentukan tim nasional sepak bola esports.
Langkah ini bukan sekadar upaya pengalihan isu. Lebih jauh, inisiatif tersebut mencerminkan kesadaran CFA akan pentingnya merangkul tren global dan potensi besar yang dimiliki esports sebagai sarana untuk membangun kembali citra sepak bola nasional, meskipun dalam bentuk virtual. Dalam pernyataan resminya, CFA menegaskan bahwa tim nasional esports ini akan dilibatkan dalam berbagai turnamen resmi yang diselenggarakan oleh FIFA, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), dan organisasi internasional lainnya.
Keputusan CFA ini tentu menarik perhatian dunia. Bagaimana tidak, sepak bola Tiongkok sebelumnya dikenal ambisius dan terus berinvestasi besar dalam pengembangan pemain, pelatih, hingga infrastruktur. Namun semua itu belum menghasilkan prestasi signifikan. Terbaru, tim nasional senior menelan kekalahan pahit dengan skor 0-1 dari Indonesia. Hasil ini bukan hanya mengejutkan publik, tapi juga berujung pada dipecatnya sang pelatih, Branko Ivankovic.
Kekalahan dari Indonesia menjadi momen reflektif sekaligus titik balik yang menyakitkan bagi sepak bola Tiongkok. Selama bertahun-tahun, negara tersebut telah mengupayakan transformasi besar dalam sektor olahraga. Namun, dalam sepak bola, hasil tetap belum berpihak. Kekalahan tersebut praktis mengubur harapan mereka tampil di Piala Dunia yang akan datang.
Di sisi lain, dunia esports terus berkembang pesat di Tiongkok. Negara ini memiliki basis pemain gim yang sangat besar dan komunitas esports yang aktif, terutama dalam gim bergenre kompetitif seperti sepak bola virtual. Dengan fondasi itu, CFA tampaknya melihat peluang besar untuk tetap “bersaing” di panggung internasional meskipun bukan melalui lapangan rumput, melainkan layar monitor.
Pembentukan tim nasional esports juga menjadi simbol pergeseran paradigma dalam cara melihat sepak bola. Jika sebelumnya keberhasilan hanya diukur dari performa fisik di lapangan, kini dimensi kompetisi bergeser ke ranah digital. Meskipun ada perbedaan mendasar dalam bentuknya, namun kompetisi di esports tetap menuntut strategi, kerja sama tim, serta mentalitas kompetitif yang kuat—nilai-nilai yang juga ada dalam sepak bola konvensional.
Langkah CFA ini sekaligus menunjukkan fleksibilitas dan adaptasi terhadap tren baru dalam olahraga. Dengan kehadiran turnamen esports resmi dari badan-badan seperti FIFA dan AFC, keberadaan tim nasional esports bukan lagi hal yang sekadar pelengkap, melainkan representasi sah dari sebuah negara dalam kancah kompetisi global. Apalagi dengan teknologi yang semakin canggih, batas antara dunia virtual dan nyata kian kabur.
Namun, di balik semua ini, tetap ada pesan yang ingin ditegaskan CFA: mereka belum menyerah. Meski gagal secara fisik, mereka tetap ingin hadir di panggung internasional melalui jalur digital. Ini bisa menjadi ajang pembuktian bahwa semangat bertanding bangsa Tiongkok masih menyala—meski bentuknya telah berubah.
Bagi para pemain muda yang tumbuh dengan joystick di tangan dan monitor sebagai lapangan, kehadiran tim nasional esports bisa menjadi aspirasi baru. Tak hanya sebagai penonton, mereka kini punya peluang untuk menjadi wakil negara. Ini tentu membawa warna baru dalam pola pembinaan talenta, yang tidak lagi eksklusif pada latihan fisik, tetapi juga kemampuan kognitif dan keterampilan digital.
Di sisi lain, pembentukan tim ini juga merupakan bentuk komunikasi CFA kepada publik: bahwa perubahan besar tengah digodok. Mungkin belum pada tingkat hasil nyata di lapangan, namun transformasi mental dan strategi sudah dimulai. Dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa memperluas definisi nasionalisme olahraga dan memperkuat jalinan emosi publik dengan sepak bola, dalam bentuk apa pun itu.
Tentu saja, tidak semua pihak akan langsung menerima kebijakan ini. Sebagian mungkin menganggap langkah ini sebagai bentuk pengalihan dari kegagalan, atau bahkan sebagai tanda putus asa. Namun terlepas dari persepsi tersebut, CFA telah mengambil risiko strategis. Jika berhasil, ini bisa menjadi model baru bagi negara-negara lain yang tengah berjuang membangun kembali reputasi sepak bola mereka.
Pada akhirnya, pembentukan tim nasional esports adalah eksperimen besar dengan harapan tinggi. Di tengah keterpurukan, Tiongkok mencoba membuka lembaran baru dengan tetap berpegang pada semangat kompetitif. Tidak lagi sekadar mengejar bola di lapangan hijau, mereka kini bersaing dalam dunia digital, di mana strategi, refleks, dan kecerdasan memainkan peran utama.
Tiongkok mungkin gagal mencetak gol di Piala Dunia mendatang. Namun mereka tidak gagal bermimpi. Dan mimpi itu kini mencoba diwujudkan melalui jalur yang lebih futuristik: esports sepak bola sebagai simbol baru kebangkitan.