Bank Indonesia

Dosen dan Peneliti UII Ungkap Dampak Strategis Penurunan BI Rate: Sektor Riil Jadi Fokus Perhatian

Dosen dan Peneliti UII Ungkap Dampak Strategis Penurunan BI Rate: Sektor Riil Jadi Fokus Perhatian

JAKARTA - Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang baru-baru ini menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi sorotan penting di kalangan akademisi dan pelaku ekonomi. Langkah pelonggaran moneter ini dinilai sebagai upaya strategis dalam menghadapi tantangan ekonomi nasional yang kian kompleks.

Listya Endang Artiani, dosen dan peneliti ekonomi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, mengungkapkan bahwa kebijakan BI tersebut tidak hanya berdimensi teknis fiskal semata, melainkan memiliki implikasi makroekonomi yang signifikan. Ia menilai keputusan BI menurunkan BI Rate merupakan sinyal kuat tentang arah kebijakan ekonomi Indonesia ke depan.

“Keputusan Bank Indonesia ini bukan hanya peristiwa teknis kebijakan, melainkan sinyal makroekonomi yang mempengaruhi berbagai sektor ekonomi,” ujar Listya dalam, Jumat, 23 Mei 2025.

BI Turunkan BI Rate untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Bank Indonesia secara resmi menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen. Kebijakan ini diambil sebagai respons terhadap kondisi ekonomi global dan domestik yang dinamis, di mana tekanan inflasi mulai mereda dan pertumbuhan ekonomi masih memerlukan stimulus tambahan.

Dalam pernyataannya, BI menyebut bahwa langkah ini bertujuan untuk memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi domestik, khususnya melalui peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi, serta daya beli masyarakat yang sempat melemah akibat tekanan eksternal seperti ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi di negara mitra dagang utama.

Sektor Riil Jadi Sasaran Utama Pelonggaran Moneter

Menurut Listya, sektor riil merupakan pihak yang paling rentan terhadap fluktuasi kebijakan moneter, namun juga menjadi pihak yang paling diharapkan mendapat manfaat dari pelonggaran tersebut. Penurunan BI Rate diyakini akan memberikan stimulus terhadap sektor-sektor produktif, seperti industri manufaktur, perdagangan, dan sektor UMKM.

“Sektor riil menjadi yang paling rentan dan sekaligus paling diharapkan mendapat dorongan dari langkah pelonggaran ini,” jelas Listya.

Ia menambahkan, dengan bunga pinjaman yang lebih rendah, pelaku usaha kecil hingga menengah dapat lebih leluasa mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan. Ini penting untuk meningkatkan kapasitas produksi, menciptakan lapangan kerja, dan pada akhirnya memperkuat perekonomian nasional dari sisi bawah.

Dampak terhadap Perbankan dan Investasi

Selain sektor riil, kebijakan pelonggaran moneter ini juga diperkirakan akan berdampak langsung terhadap sektor perbankan dan iklim investasi. Dengan turunnya suku bunga acuan, perbankan akan menyesuaikan suku bunga kredit dan deposito, yang berpotensi meningkatkan penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif.

“Bank-bank komersial diharapkan merespons kebijakan BI ini dengan penurunan suku bunga kredit, yang dapat merangsang aktivitas ekonomi,” kata Listya.

Di sisi lain, kebijakan ini juga dapat menarik minat investor, baik domestik maupun asing, terutama dalam sektor-sektor yang memerlukan pembiayaan jangka panjang. Iklim investasi yang kondusif ini diharapkan akan meningkatkan aliran modal ke dalam negeri dan mendukung program pembangunan infrastruktur serta sektor ekonomi prioritas lainnya.

Tantangan dan Risiko yang Tetap Perlu Diwaspadai

Meski demikian, Listya menekankan bahwa pelonggaran moneter bukanlah solusi tunggal bagi seluruh persoalan ekonomi nasional. Ia mengingatkan bahwa ada sejumlah risiko dan tantangan yang tetap perlu diwaspadai, seperti ketidakpastian global, potensi gejolak nilai tukar rupiah, serta masih lemahnya penyerapan kredit oleh sektor-sektor tertentu.

“Efektivitas dari pelonggaran moneter ini sangat tergantung pada koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter, serta dukungan dari sektor perbankan dalam menyalurkan kredit secara efisien,” papar Listya.

Ia juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas makroekonomi agar pelonggaran ini tidak menimbulkan ekses negatif seperti inflasi yang tidak terkendali atau spekulasi di sektor keuangan.

Strategi Pemerintah dan Kolaborasi Kebijakan

Pemerintah pun diharapkan dapat merespons kebijakan Bank Indonesia ini dengan mempercepat realisasi belanja negara, memberikan insentif fiskal, serta menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Kolaborasi antara pemerintah dan otoritas moneter menjadi kunci utama agar kebijakan ini benar-benar berdampak nyata bagi masyarakat luas.

“Kebijakan ini akan efektif jika disinergikan dengan stimulus fiskal, deregulasi kebijakan usaha, dan reformasi struktural,” imbuh Listya.

Ia juga menekankan perlunya pendekatan sektoral dalam implementasi kebijakan. Setiap sektor ekonomi memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga kebijakan yang diterapkan pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan masing-masing sektor.

Respons Pasar dan Pelaku Usaha

Sejumlah pelaku usaha menyambut positif kebijakan pelonggaran moneter yang diambil BI. Mereka berharap turunnya BI Rate akan segera diikuti oleh penyesuaian suku bunga kredit usaha dan modal kerja, sehingga mereka dapat memperluas operasional dan meningkatkan kapasitas produksi.

“Jika bank menurunkan bunga pinjaman, tentu kami bisa menambah produksi dan merekrut tenaga kerja tambahan,” ujar Rudi Hartono, pelaku usaha kecil di bidang konveksi di Yogyakarta.

Sementara itu, para ekonom memperkirakan bahwa efek penuh dari penurunan suku bunga akan terlihat dalam beberapa bulan ke depan, tergantung pada seberapa cepat sektor perbankan menyesuaikan kebijakan mereka dan seberapa besar respons dunia usaha terhadap peluang yang tercipta.

Harapan terhadap Akselerasi Pemulihan Ekonomi

Penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia merupakan langkah strategis yang diyakini akan memberikan dorongan positif bagi pemulihan ekonomi nasional. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan sinergi antar sektor, Indonesia berpotensi mempercepat pemulihan pasca pandemi dan memperkuat fondasi ekonomi jangka panjang.

Namun, seperti disampaikan oleh Listya Endang Artiani, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor, pengawasan yang ketat, serta komitmen bersama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

“Pelonggaran moneter ini ibarat peluang emas, tapi tetap perlu dikelola dengan hati-hati agar benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat,” tutup Listya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index