JAKARTA - Harga minyak mentah global kembali menguat pada awal pekan ini, menyusul keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memperpanjang batas waktu penerapan tarif balasan terhadap Uni Eropa. Langkah ini memberikan sinyal positif bagi pelaku pasar bahwa potensi konflik dagang dapat diredam, setidaknya untuk sementara waktu.
Senin pagi waktu Jakarta (26 Mei 2025), harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juli naik 0,7% menjadi US$65,24 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli tercatat menguat 0,8% ke posisi US$62,00 per barel. Kenaikan ini memperpanjang tren reli yang sudah terlihat dalam beberapa hari terakhir.
Sinyal positif pasar ini muncul setelah Trump mengumumkan perpanjangan tenggat hingga 9 Juli 2025 bagi Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mencapai kesepakatan dagang. Sebelumnya, pada Jumat 23 Mei 2025, Trump sempat mengancam akan mengenakan tarif sebesar 50% terhadap barang-barang asal Uni Eropa jika kesepakatan tidak tercapai pada awal Juni. Namun, setelah melakukan pembicaraan via telepon dengan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, Trump memilih memberikan waktu tambahan.
"Kami memberikan waktu tambahan kepada Uni Eropa karena pembicaraan berjalan dengan konstruktif. Kami ingin memberi kesempatan bagi kesepakatan yang adil bagi kedua belah pihak," ujar Presiden Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih.
Langkah Trump tersebut langsung direspons positif oleh pelaku pasar minyak. Investor menilai bahwa risiko terganggunya perdagangan global dapat ditekan, setidaknya dalam jangka pendek. Ketegangan perdagangan antara dua kekuatan ekonomi besar seperti AS dan Uni Eropa selama ini menjadi salah satu faktor ketidakpastian yang membebani pasar energi.
Analis dari Standard Chartered, Paul Horsnell, menyatakan bahwa perpanjangan tenggat waktu tarif ini memperbaiki sentimen pasar. "Dengan diberikannya ruang untuk diplomasi, pasar melihat potensi penurunan eskalasi yang sebelumnya menjadi ancaman bagi stabilitas pasokan dan permintaan energi global," kata Horsnell dalam laporan risetnya.
Kenaikan harga minyak juga didorong oleh ekspektasi permintaan yang meningkat menjelang musim panas di belahan bumi utara. Periode ini biasanya disertai lonjakan konsumsi bahan bakar karena meningkatnya aktivitas perjalanan dan transportasi.
Di sisi lain, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitranya dalam kelompok OPEC+ juga terus menjaga stabilitas pasar melalui kebijakan pembatasan produksi. Komitmen negara-negara anggota dalam menjaga level pasokan menjadi salah satu faktor yang turut menopang harga minyak dunia.
Namun demikian, ketidakpastian masih membayangi pasar. Selain potensi konflik dagang, faktor-faktor lain seperti tensi geopolitik di Timur Tengah, prospek pertumbuhan ekonomi global, serta dinamika pasar keuangan turut menjadi perhatian investor.
Dalam jangka pendek, pasar akan terus memantau perkembangan negosiasi antara AS dan Uni Eropa. Jika kesepakatan dapat tercapai sebelum batas waktu yang ditetapkan, maka harga minyak diprediksi akan tetap berada dalam tren positif. Namun jika pembicaraan kembali menemui jalan buntu, pasar berpotensi mengalami tekanan karena kekhawatiran terhadap terganggunya rantai pasok global.
"Pasar minyak saat ini sangat sensitif terhadap perkembangan kebijakan perdagangan. Langkah Trump memberikan waktu lebih panjang kepada Uni Eropa menjadi penyejuk yang sangat dibutuhkan," kata Anya Levinson, analis energi dari CitiGroup.
Kebijakan tarif memang telah menjadi salah satu alat utama Trump dalam upaya menekan mitra dagangnya untuk memberikan konsesi. Dalam konteks ini, Uni Eropa menjadi target karena ketidakseimbangan neraca perdagangan yang dianggap merugikan Amerika Serikat.
Pemerintah Uni Eropa menyambut baik perpanjangan waktu tersebut. Dalam pernyataannya, Ursula von der Leyen menyatakan bahwa kedua pihak memiliki komitmen untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan. "Kami berharap perpanjangan ini akan memberi waktu yang cukup untuk menyelesaikan perbedaan dan menciptakan kemitraan dagang yang lebih kuat," ujarnya.
Di tengah gejolak global, harga minyak yang stabil menjadi sangat krusial, tidak hanya bagi negara-negara produsen, tetapi juga bagi kestabilan ekonomi global secara keseluruhan. Ketidakpastian yang berkepanjangan dapat menekan investasi, memperlambat pertumbuhan, dan mendorong inflasi di banyak negara.
Dengan perkembangan terbaru ini, pasar minyak setidaknya mendapatkan jeda dari tekanan yang terus-menerus. Namun tetap diperlukan kehati-hatian, karena dinamika geopolitik dan ekonomi global bisa berubah dalam waktu singkat.