OJK

Utang Pinjaman Online Tembus Rp 80,02 Triliun per Maret 2025, OJK Soroti Tren Pertumbuhan Fintech

Utang Pinjaman Online Tembus Rp 80,02 Triliun per Maret 2025, OJK Soroti Tren Pertumbuhan Fintech

JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa outstanding pinjaman masyarakat dari layanan pinjaman online atau fintech peer-to-peer (P2P) lending mencapai angka fantastis sebesar Rp 80,02 triliun per Maret 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan sebesar 28,72 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), menandakan tren peningkatan signifikan dalam penggunaan layanan keuangan digital.

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, menyampaikan bahwa pertumbuhan ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap alternatif pembiayaan non-bank. Meski demikian, ia menekankan pentingnya menjaga prinsip kehati-hatian baik dari sisi penyedia layanan maupun peminjam.

"Outstanding pembiayaan fintech P2P lending tumbuh 28,72 persen yoy per Maret 2025. Sebagai perbandingan, pada Februari 2025, pertumbuhannya bahkan mencapai 31,06 persen yoy," kata Agusman dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Jumat 9 Mei 2025.

Dibandingkan awal tahun 2025 yang tercatat di kisaran Rp 78,5 triliun, jumlah utang masyarakat di platform pinjaman online mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam tiga bulan pertama tahun ini. Peningkatan ini turut didorong oleh semakin masifnya digitalisasi layanan keuangan dan kemudahan akses yang ditawarkan oleh penyelenggara fintech lending.

Menurut Agusman, sektor fintech lending menjadi salah satu pilar penting dalam mendukung inklusi keuangan, terutama bagi masyarakat unbanked atau underbanked yang belum terjangkau oleh layanan perbankan konvensional. "Fintech lending menyediakan solusi cepat dan praktis, namun harus tetap dalam kerangka regulasi yang kuat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan," tegasnya.

Meski jumlah utang yang beredar cukup tinggi, OJK mencatat bahwa tingkat wanprestasi di atas 90 hari atau TWP90 — indikator kredit macet — mengalami penurunan tipis dari 2,78 persen pada Februari menjadi 2,77 persen pada Maret 2025. Penurunan ini menjadi sinyal positif bahwa manajemen risiko di sektor pinjaman daring mulai menunjukkan perbaikan.

“Penurunan TWP90 ini harus terus dijaga dan menjadi indikator bahwa industri fintech lending mampu melakukan seleksi dan mitigasi risiko yang lebih baik,” ujar Agusman.

Kendati demikian, OJK tetap mengimbau masyarakat untuk bijak dalam menggunakan layanan pinjaman online, mengingat bunga dan biaya layanan yang relatif tinggi dibandingkan pinjaman dari institusi keuangan tradisional. Otoritas juga terus memperkuat pengawasan terhadap penyelenggara P2P lending agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam praktik bisnis maupun pelanggaran perlindungan konsumen.

Ekonom dan pengamat keuangan digital dari Universitas Gadjah Mada, Eko Listiyanto, menilai bahwa pertumbuhan outstanding pinjol yang tinggi menunjukkan kebutuhan pembiayaan mikro yang belum sepenuhnya terpenuhi oleh perbankan. “Ini menjadi celah yang diisi oleh fintech lending. Tapi perlu diingat bahwa akselerasi ini juga membawa risiko, terutama jika tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang memadai di kalangan peminjam,” kata Eko.

Ia menambahkan bahwa literasi digital dan keuangan harus menjadi prioritas dalam pengembangan industri pinjaman daring. “Banyak peminjam yang masih tergiur proses cepat dan syarat mudah, tanpa memahami secara menyeluruh kewajiban pengembalian dan konsekuensi gagal bayar,” ujarnya.

Sementara itu, dari sisi penyelenggara, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat bahwa jumlah penyelenggara P2P lending terdaftar dan berizin di OJK per April 2025 mencapai 102 entitas. Mayoritas platform tersebut menyalurkan pembiayaan ke sektor konsumtif, UMKM, serta pembiayaan produktif seperti pertanian dan perdagangan.

Ketua Umum AFPI, Kuseryansyah, menyampaikan bahwa pihaknya terus mendorong anggotanya untuk meningkatkan tata kelola dan transparansi dalam operasional bisnis. "Kami berkomitmen untuk mendukung penguatan industri yang sehat, bertanggung jawab, dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional," ujarnya dalam pernyataan resmi.

AFPI juga mengapresiasi upaya OJK dalam memperketat regulasi dan pengawasan terhadap industri fintech lending. Beberapa langkah penguatan regulasi yang telah diterapkan termasuk implementasi sistem credit scoring, pembatasan bunga maksimal, serta peningkatan standar perlindungan data konsumen.

Sebagai bagian dari transformasi digital sektor keuangan, pinjaman online diprediksi masih akan terus tumbuh sepanjang 2025. Namun, para pelaku industri dituntut untuk menjaga kualitas pertumbuhan dan tidak semata mengejar volume pembiayaan.

Menurut proyeksi OJK, jika tren pertumbuhan saat ini berlanjut, outstanding pinjaman dari sektor P2P lending bisa menembus angka Rp 90 triliun hingga akhir tahun. Oleh sebab itu, lembaga pengawas ini akan terus memperkuat pengawasan berbasis teknologi serta meningkatkan kolaborasi dengan instansi terkait untuk mencegah potensi pelanggaran dan praktik ilegal.

"Kami terus memantau perkembangan industri ini secara ketat. Fokus kami tidak hanya pada pertumbuhan angka, tetapi juga pada kualitas pertumbuhan dan aspek perlindungan konsumen," tutup Agusman.

Dengan nilai utang masyarakat di pinjaman online yang mencapai Rp 80,02 triliun dan pertumbuhan tahunan hampir 30 persen, industri fintech lending di Indonesia menunjukkan potensi yang besar, namun juga menyimpan tantangan serius yang harus ditangani secara sistemik dan kolaboratif oleh semua pemangku kepentingan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index