Bansos

Kritik Menajam, Seruan Reformasi: Bansos Harus Bertransformasi Menjadi Alat Pemberdayaan Masyarakat

Kritik Menajam, Seruan Reformasi: Bansos Harus Bertransformasi Menjadi Alat Pemberdayaan Masyarakat

JAKARTA — Seruan reformasi terhadap sistem bantuan sosial (bansos) di Indonesia kian menguat setelah dua tokoh penting pemerintahan, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, secara terbuka mengkritik efektivitas program bansos yang selama ini dijalankan pemerintah.

Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan di forum publik, Cak Imin menegaskan bahwa program bansos harus bertransformasi menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar bantuan jangka pendek yang tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Kita harus akui bahwa sistem bansos kita hari ini belum mampu mengangkat derajat masyarakat secara berkelanjutan. Perlu reformasi total agar tidak sekadar menjadi hibah, tapi menjadi pendorong kemandirian,” tegasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Ia mengungkapkan bahwa meski pemerintah telah menggelontorkan lebih dari Rp500 triliun untuk program bansos, hasilnya belum sesuai ekspektasi. “Hanya sekitar 50 persen dari anggaran tersebut yang benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Ini adalah masalah yang sangat serius dalam sistem distribusi kita,” ungkap Luhut dalam konferensi pers pekan ini.

Pernyataan kedua pejabat tinggi ini menyulut perdebatan publik dan mendorong banyak pihak untuk kembali meninjau kebijakan sosial nasional yang selama ini dijalankan. Banyak kalangan menilai bahwa sistem distribusi yang tidak efisien, kurangnya transparansi, serta lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama gagalnya program bansos mencapai tujuan utamanya.

Menurut pengamat kebijakan sosial dari Universitas Indonesia, Dr. Novi Kurniawan, kebijakan bansos di Indonesia selama ini lebih bersifat populis ketimbang solutif. “Bantuan hanya diberikan pada momen-momen tertentu, seperti menjelang pemilu atau saat krisis, tanpa strategi jangka panjang. Ini menyebabkan ketergantungan dan tidak membangun kapasitas masyarakat,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menekankan pentingnya integrasi antara program bansos dan program pemberdayaan ekonomi lokal. “Bansos seharusnya diarahkan pada pelatihan, akses permodalan UMKM, dan penguatan jaringan produksi masyarakat lokal,” tambah Novi.

Menteri Sosial sendiri, dalam beberapa kesempatan, juga mengakui bahwa validasi data penerima bantuan sosial masih menjadi tantangan besar. Banyak masyarakat yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak terdaftar, sementara ada pula yang menerima bantuan ganda atau tidak tepat sasaran.

“Kami sedang membenahi sistem data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) agar lebih akurat dan adaptif terhadap perubahan dinamika sosial ekonomi masyarakat,” ujar Menteri Sosial dalam keterangannya.

Di tengah sorotan ini, sejumlah LSM dan lembaga pemantau kebijakan publik menyerukan keterlibatan masyarakat sipil dalam merumuskan ulang program bansos. Menurut mereka, reformasi bansos harus dimulai dari perubahan paradigma: dari bantuan konsumtif menjadi bantuan produktif.

Yayasan Kesejahteraan Rakyat (YKR), misalnya, mengusulkan agar penerima bansos dilibatkan dalam program pemberdayaan berbasis komunitas. “Kita bisa bentuk koperasi warga, pelatihan kerja, hingga dukungan untuk inisiatif pertanian kota. Jangan hanya kasih beras atau uang tunai, tapi bekali mereka dengan keterampilan,” ujar Ketua YKR, Andri Waluyo.

Kritik dari Muhaimin dan Luhut ini diharapkan menjadi momentum evaluasi nasional terhadap kebijakan perlindungan sosial. Dengan anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan setiap tahun, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar berdampak.

Pakar ekonomi dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Indah Pertiwi, menegaskan bahwa bansos harus terhubung langsung dengan roadmap pengentasan kemiskinan. “Selama tidak ada korelasi antara bansos dengan strategi pembangunan berkelanjutan, kita akan selalu terjebak dalam lingkaran subsidi yang tidak produktif,” katanya.

Indah menambahkan, pemerintah seharusnya juga mulai melibatkan sektor swasta dan BUMN untuk menciptakan skema bansos kolaboratif, misalnya melalui program CSR yang terarah pada kelompok rentan.

Dengan meningkatnya tekanan publik dan sorotan dari pejabat tinggi negara, reformasi sistemik terhadap kebijakan bantuan sosial tampaknya menjadi sebuah keniscayaan. Tantangannya kini adalah bagaimana mengubah struktur kebijakan yang sudah mengakar, tanpa menimbulkan keguncangan sosial.

Reformasi bansos bukan sekadar perubahan administratif, tetapi perubahan mendasar terhadap cara negara memperlakukan rakyatnya yang paling rentan. Jika dikelola dengan baik, bansos bisa menjadi jembatan menuju kemandirian dan bukan sekadar pengobat luka sementara.

Dengan kesadaran kolektif dan komitmen lintas sektor, Indonesia bisa membangun sistem perlindungan sosial yang lebih adil, efektif, dan memberdayakan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index