JAKARTA - Presiden terpilih Prabowo Subianto kembali menegaskan visi strategisnya dalam mewujudkan kemandirian energi nasional, khususnya dalam sektor bahan bakar minyak (BBM). Dalam pernyataannya yang disampaikan saat menghadiri acara Halalbihalal bersama Purnawirawan TNI-Polri di Balai Kartini, Jakarta, Selasa 6 Mei 2025, Prabowo menyebut bahwa Indonesia seharusnya tidak perlu lagi mengimpor BBM dari negara mana pun.
Dengan semangat nasionalisme yang kuat, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah yang bisa dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Ia juga mengkritik keras ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM yang selama ini menguras devisa negara.
“Negara kita sesungguhnya tidak perlu impor BBM dari manapun. Kita impor BBM hampir 40 miliar dolar AS satu tahun,” kata Prabowo dengan tegas di hadapan ratusan purnawirawan TNI dan Polri yang hadir.
Indonesia Boros Devisa untuk Impor Energi
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada impor minyak mentah dan BBM jadi, terutama untuk memenuhi kebutuhan sektor transportasi dan industri. Pada tahun 2024 saja, nilai impor BBM Indonesia tercatat mencapai USD 39,8 miliar, setara dengan lebih dari Rp 640 triliun jika mengacu pada kurs saat ini.
Angka ini menjadikan BBM sebagai salah satu komoditas impor terbesar, bahkan melampaui impor bahan pangan dan barang modal lainnya.
Prabowo menganggap situasi ini sebagai bentuk ketidakmandirian energi yang tidak seharusnya terjadi, mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam berlimpah, baik dalam bentuk minyak bumi, gas alam, batu bara, hingga potensi besar energi baru dan terbarukan (EBT).
“Dengan potensi yang kita miliki, termasuk teknologi yang semakin berkembang, saya yakin Indonesia bisa wujudkan swasembada energi. Kita harus berani!” tegas Prabowo dalam pidatonya.
Dorongan Menuju Swasembada Energi
Sebagai Presiden terpilih yang akan memimpin Indonesia periode 2024–2029, Prabowo menyatakan bahwa agenda besar kedaulatan energi nasional akan menjadi salah satu prioritas utama dalam masa pemerintahannya. Ia menekankan pentingnya investasi pada sektor hulu migas, revitalisasi kilang dalam negeri, dan pengembangan bioenergi serta EBT.
Prabowo menyadari bahwa swasembada energi tidak bisa terwujud dalam waktu singkat. Namun, ia menilai bahwa dengan kemauan politik yang kuat dan sinergi lintas sektor, Indonesia bisa mencapai target ini dalam waktu kurang dari satu dekade.
“Ini bukan soal teknis semata, tapi soal keberanian politik. Kalau kita bersatu, saya yakin kita bisa wujudkan energi dari dan untuk bangsa sendiri,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Mengoptimalkan Potensi Energi Dalam Negeri
Pakar energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyatakan bahwa pernyataan Prabowo sangat relevan dengan situasi aktual Indonesia. Menurutnya, Indonesia memang memiliki potensi besar untuk memproduksi BBM sendiri, namun selama ini terkendala oleh keterbatasan kapasitas kilang dan ketergantungan pada impor bahan baku.
“Kilang-kilang kita masih banyak yang tua dan tidak efisien. Kalau revitalisasi kilang dipercepat, ditambah dengan investasi energi alternatif seperti biodiesel, kita bisa kurangi impor secara signifikan,” jelas Fahmy dalam wawancara terpisah.
Menurut data dari PT Pertamina (Persero), konsumsi BBM nasional saat ini mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara kapasitas kilang dalam negeri hanya mampu memproduksi sekitar 850 ribu barel per hari. Sisanya dipenuhi melalui impor.
Karena itu, proyek pembangunan kilang baru, seperti proyek GRR Tuban, RDMP Balikpapan, dan pengembangan bio-refinery menjadi kunci utama untuk mendukung swasembada energi sebagaimana yang diusung Prabowo.
Sinergi Lintas Kementerian dan Swasta
Wacana kemandirian energi yang digaungkan Prabowo mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk kalangan dunia usaha. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, menilai bahwa dorongan swasembada energi akan menciptakan ekosistem industri yang sehat dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kami menyambut baik komitmen Presiden terpilih untuk mengurangi impor energi. Hal ini tidak hanya memperkuat ekonomi nasional, tapi juga menciptakan peluang investasi baru di sektor energi bersih dan efisien,” kata Arsjad.
Di sisi lain, Kementerian ESDM juga telah menyiapkan peta jalan transisi energi nasional 2025–2035, yang selaras dengan semangat kemandirian energi. Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji, menyebut bahwa fokus utama pemerintah saat ini adalah meningkatkan produksi migas nasional dan mempercepat pengembangan EBT.
“Kita tidak bisa bergantung terus pada impor. Target lifting minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 BSCFD harus dikejar. Selain itu, kita dorong pengembangan biofuel dan energi surya,” jelas Tutuka.
Tantangan dan Harapan
Meski optimisme tinggi disuarakan oleh Prabowo dan para pemangku kepentingan, tantangan untuk mencapai swasembada energi tidaklah ringan. Mulai dari keterbatasan anggaran, regulasi yang belum sinkron, hingga hambatan investasi di sektor migas dan EBT masih menjadi persoalan yang harus segera dibenahi.
Namun, banyak pihak menilai bahwa pernyataan tegas Prabowo menjadi pemicu kebijakan energi nasional yang lebih berdaulat dan tidak lagi bergantung pada pasar global.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menekankan bahwa kunci utama ada pada konsistensi dan keberlanjutan kebijakan.
“Indonesia harus punya strategi jangka panjang yang tidak berubah setiap lima tahun. Kalau Prabowo konsisten dengan komitmennya, kita bisa melihat perubahan nyata dalam satu periode pemerintahan,” kata Komaidi.
Pernyataan tegas Presiden terpilih Prabowo Subianto bahwa Indonesia tidak perlu impor BBM menjadi sinyal kuat arah kebijakan energi nasional ke depan. Dengan kekayaan sumber daya alam, teknologi yang kian berkembang, serta dukungan publik dan sektor usaha, swasembada energi bukan mimpi, melainkan target realistis yang bisa dicapai.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, Indonesia dinilai sangat layak menjadi negara berdaulat energi di kawasan dan bahkan di tingkat global. Tantangannya kini ada pada implementasi dan sinergi kebijakan yang konsisten dalam lima tahun mendatang.