JAKARTA - Aktivitas pertambangan nikel milik PT Sumber Tambang Sejahtera (STS) di Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara, kembali memicu kontroversi. Perusahaan tersebut diduga melakukan pembangunan terminal khusus atau jetty secara ilegal di pesisir Memeli, Desa Pekaulang, tanpa izin lingkungan maupun persetujuan warga setempat.
Investigasi terbaru yang dilakukan oleh lembaga pemantau lingkungan Salawaku Institute menyebutkan bahwa PT STS telah memobilisasi alat berat ke lokasi tersebut sejak 13 April 2025. Kegiatan pembangunan jetty dilakukan secara diam-diam dan tidak melalui prosedur yang sesuai dengan hukum. Masyarakat setempat pun mengaku tidak pernah menerima sosialisasi dari pihak perusahaan mengenai rencana pembangunan tersebut.
"PT STS menjalankan pembangunan jetty tanpa adanya persetujuan dari pemilik lahan sah dan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)," ujar M. Said Marsaoly dari Salawaku Institute, Minggu 4 Mei 2025.
Menurut Said, aktivitas pembangunan jetty terus berlangsung hingga 1 Mei 2025, bahkan setelah warga menyampaikan penolakan keras terhadap proyek tersebut. Warga menolak karena merasa hak atas tanah mereka diabaikan. Perusahaan disebut hanya menawarkan ganti rugi sebesar Rp10.000 hingga Rp15.000 per meter persegi, yang dianggap sangat tidak layak.
"Penolakan warga tak digubris. Proyek tetap berjalan dengan pengawalan ketat dari aparat kepolisian dan preman bayaran. Ironisnya, tidak ada transaksi hukum formal antara perusahaan dan pemilik lahan," tambah Said.
Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat bahwa pembangunan terminal khusus PT STS merupakan bentuk penyerobotan lahan dan pelanggaran terhadap hukum lingkungan serta hak-hak masyarakat adat. Laporan Salawaku Institute menyebutkan, tidak hanya warga setempat yang dirugikan, tetapi juga lingkungan pesisir Memeli yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan dan pembangunan infrastruktur tanpa kajian lingkungan yang memadai.
Salah satu warga Desa Pekaulang yang enggan disebutkan namanya mengaku kecewa dengan sikap perusahaan yang dinilai arogan. "Kami tidak pernah diajak bicara. Tahu-tahu alat berat sudah masuk, tanah kami diratakan, dan mereka mulai bangun jetty. Ini tanah warisan leluhur kami," katanya.
Hingga berita ini ditulis, pihak PT STS belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan pelanggaran tersebut. Upaya konfirmasi yang dilakukan ke kantor perwakilan perusahaan di Halmahera Timur juga belum membuahkan hasil.
Sementara itu, aktivis lingkungan dan akademisi dari Universitas Khairun Ternate, Dr. A. Rahman Latuconsina, menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur pertambangan tanpa dokumen Amdal merupakan pelanggaran berat yang dapat dikenai sanksi pidana. Ia menekankan pentingnya penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam proyek-proyek yang melibatkan masyarakat adat.
"Ketika masyarakat tidak diberikan informasi secara memadai, tidak diberi kesempatan untuk menyetujui atau menolak, dan prosesnya dipaksakan, maka itu sudah melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup," tegas Dr. Rahman.
Pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Timur sendiri masih belum memberikan pernyataan resmi terkait polemik ini. Namun sejumlah anggota DPRD setempat mulai bersuara dan meminta agar kegiatan PT STS dihentikan sementara hingga seluruh aspek legal dan sosial diklarifikasi.
"Kami minta Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertambangan turun langsung ke lokasi dan segera lakukan investigasi. Ini bukan hanya soal investasi, tapi juga soal penegakan hukum dan perlindungan masyarakat lokal," kata salah satu anggota DPRD Haltim yang enggan disebutkan namanya.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib memiliki dokumen Amdal. Ketidakhadiran dokumen ini dalam proyek PT STS berpotensi menjerat pihak perusahaan ke ranah pidana.
Kasus ini menjadi salah satu contoh terbaru dari banyaknya masalah tata kelola pertambangan di wilayah Indonesia timur. Minimnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, serta praktik perampasan lahan tanpa proses partisipatif yang sah masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah pusat dan daerah.
Dalam waktu dekat, koalisi masyarakat sipil di Maluku Utara berencana menggelar aksi demonstrasi dan melayangkan aduan resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), guna mendorong penyelidikan lebih lanjut atas kasus dugaan pelanggaran ini.
"Kami akan kawal terus kasus ini sampai ke meja hijau kalau perlu. Tidak boleh ada praktik ilegal yang mengorbankan warga demi keuntungan segelintir pihak," tutup Said Marsaoly dari Salawaku Institute.