JAKARTA - Pasar keuangan Indonesia menutup perdagangan Selasa (6/5/2025) dengan pergerakan beragam, di tengah tekanan perlambatan ekonomi domestik dan anjloknya harga minyak global. Sentimen ini muncul menjelang rapat Federal Reserve (The Fed) yang ditunggu pelaku pasar global, khususnya terkait arah kebijakan suku bunga Amerika Serikat.
Meskipun bayang-bayang ketidakpastian masih menyelimuti pasar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup menguat 0,24% ke level 6.831 pada penutupan perdagangan Senin 5 Mei 2025. Peningkatan indeks ini mencerminkan respons investor yang tetap optimistis di tengah tekanan data ekonomi yang tidak sepenuhnya menggembirakan.
Sebanyak 346 saham ditutup menguat, 257 saham mengalami pelemahan, dan 201 lainnya stagnan. Volume perdagangan tercatat cukup aktif, dengan nilai transaksi mencapai Rp10,52 triliun, melibatkan 21,42 miliar lembar saham yang berpindah tangan dalam 1,18 juta kali transaksi.
Namun demikian, dari sisi pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) justru mengalami tekanan. Investor tercatat melepas kepemilikan SBN, yang tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) pada sebagian seri acuan, menunjukkan kekhawatiran terhadap outlook perekonomian ke depan serta potensi arah kebijakan The Fed.
Ekonomi RI Melambat: Di Bawah Ekspektasi
Salah satu penyebab meningkatnya kehati-hatian pelaku pasar adalah rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal I-2025 yang di bawah ekspektasi konsensus. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa ekonomi RI hanya tumbuh 4,8% secara tahunan (year-on-year), lebih rendah dibanding ekspektasi pelaku pasar yang berada di kisaran 5,0%-5,1%.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah perekonomian Indonesia cukup kuat menghadapi kombinasi tekanan eksternal dan perlambatan domestik ini?
“Pertumbuhan ekonomi kita memang melambat, dan ini menjadi catatan penting menjelang keputusan The Fed. Namun, stabilitas pasar sejauh ini tetap terjaga, yang menjadi sinyal positif bagi investor,” ujar ekonom Bank Permata, Josua Pardede.
Menurut Josua, sektor konsumsi rumah tangga yang masih menjadi motor utama pertumbuhan, tampak mulai kehilangan tenaga, seiring tekanan inflasi yang masih berlangsung dan dampak dari tren suku bunga tinggi secara global.
Harga Minyak Jeblok, Tekanan Eksternal Meningkat
Dari sisi eksternal, salah satu tekanan utama datang dari penurunan tajam harga minyak mentah dunia, yang kini menyentuh titik terendah dalam lebih dari empat tahun terakhir. Harga minyak Brent sempat turun di bawah USD 70 per barel, dipicu oleh kekhawatiran pelemahan permintaan global serta overproduksi oleh negara-negara OPEC+.
Bagi Indonesia, harga minyak yang terlalu rendah bukanlah kabar sepenuhnya baik. Di satu sisi, ini bisa mengurangi tekanan terhadap subsidi energi, namun di sisi lain berpotensi mengurangi pendapatan negara dari sektor migas serta menghambat investasi di sektor hulu energi.
“Harga minyak yang sangat rendah ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap prospek ekonomi global. Hal ini harus dicermati karena bisa berdampak terhadap sektor penerimaan negara dan kepercayaan investor terhadap pasar komoditas kita,” ungkap analis pasar, Rifki Pratama.
Menanti Keputusan The Fed
Fokus utama investor global kini tertuju pada rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) The Fed yang akan digelar minggu ini. Pasar berspekulasi bahwa The Fed kemungkinan masih akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, mengingat inflasi di AS belum menunjukkan pelambatan yang konsisten.
Suku bunga tinggi di AS cenderung menarik arus modal keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia, sekaligus memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan pasar obligasi.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS stagnan pada kisaran Rp15.980 per dolar AS pada Selasa (6/5/2025). Kinerja mata uang Garuda terbilang stabil meskipun tekanan eksternal cukup tinggi.
“Rupiah memang terlihat cukup tahan terhadap volatilitas global saat ini, tetapi kita tidak bisa mengabaikan risiko koreksi apabila The Fed memberi sinyal hawkish yang lebih kuat,” kata Lukman Leong, analis pasar uang dari PT Deu Calion Futures.
Prospek Pasar Masih Fluktuatif
Kombinasi dari data ekonomi yang melambat, harga minyak yang merosot, dan ketidakpastian arah kebijakan moneter global membuat prospek jangka pendek pasar keuangan Indonesia tetap fluktuatif.
Investor disarankan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi dalam beberapa pekan ke depan, sembari mencermati perkembangan dari The Fed, kebijakan fiskal pemerintah, serta arah inflasi domestik.
Namun, di tengah segala dinamika tersebut, sebagian analis masih melihat adanya peluang. Saham-saham sektor defensif seperti konsumsi primer dan perbankan dinilai bisa menjadi pilihan relatif aman dalam kondisi seperti saat ini.
“Selama stabilitas makro Indonesia tetap terjaga dan pemerintah mampu merespons perlambatan ekonomi dengan cepat, pasar saham domestik masih memiliki ruang untuk rebound dalam jangka menengah,” ujar analis pasar dari BCA Sekuritas, Andi Prasetya.
Perdagangan pasar keuangan Indonesia pada awal Mei 2025 menampilkan dinamika yang mencerminkan tekanan global dan domestik secara bersamaan. Meskipun IHSG berhasil menguat, sinyal kehati-hatian terlihat dari stagnannya nilai tukar dan keluarnya dana dari pasar obligasi.
Rilis data pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan serta anjloknya harga minyak menjadi faktor risiko utama yang bisa membebani prospek pasar lebih lanjut. Dalam jangka pendek, pelaku pasar akan sangat mencermati hasil rapat The Fed, yang akan menjadi kunci pergerakan pasar global, termasuk Indonesia.