Gas

Greenpeace dan Celios: Pembangkit Gas Fosil Bukan Solusi Transisi Energi, Justru Timbulkan Dampak Buruk Ekonomi dan Lingkungan

Greenpeace dan Celios: Pembangkit Gas Fosil Bukan Solusi Transisi Energi, Justru Timbulkan Dampak Buruk Ekonomi dan Lingkungan

JAKARTA - Upaya Indonesia dalam menjalankan transisi energi kembali mendapat sorotan tajam dari kalangan masyarakat sipil dan lembaga riset. Dalam sebuah laporan terbaru yang dirilis oleh Greenpeace Indonesia dan Centre of Economic and Law Studies (Celios), disebutkan bahwa penggunaan gas fosil sebagai bagian dari strategi transisi energi nasional justru akan menghambat kemajuan menuju energi bersih dan berkelanjutan.

Laporan tersebut secara tegas menolak narasi bahwa gas fosil dapat dijadikan sebagai "energi transisi". Alih-alih menjadi solusi, ekspansi pembangkit listrik berbahan bakar gas disebut berpotensi menciptakan kerugian ekonomi, menurunkan penyerapan tenaga kerja, membebani sektor kesehatan, memperparah pencemaran lingkungan, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Transisi Energi Dinilai Kurang Ambisius

Dalam rilis resminya pada 24 April 2025, Greenpeace dan Celios menyebut bahwa kebijakan energi Indonesia saat ini masih menyertakan “solusi palsu” dalam skema transisinya. Solusi tersebut antara lain penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), bioenergi dari kelapa sawit, serta dorongan terhadap gas fosil dan nuklir sebagai bagian dari bauran energi masa depan.

"Transisi energi seharusnya membawa Indonesia keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil. Namun saat ini, justru yang terjadi adalah substitusi antar energi kotor. Ini bukan solusi yang adil atau berkelanjutan," ungkap Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia.

Menurut Leonard, pendekatan transisi energi yang mengandalkan gas fosil tidak hanya gagal dari sisi lingkungan, tetapi juga secara ekonomi merugikan dan membebani masyarakat dalam jangka panjang.

Beban Kesehatan Meningkat Hingga Ratusan Triliun

Dalam laporan yang mereka susun, Greenpeace dan Celios merinci skenario pengembangan pembangkit gas fosil sebesar 22 gigawatt (GW) dalam 15 tahun ke depan. Skenario ini disebut akan menciptakan beban biaya kesehatan yang sangat besar, terutama akibat polusi udara yang ditimbulkan oleh emisi pembakaran gas.

“Dari sisi dampak kesehatan, pembangkit gas fosil dengan skenario 22 GW memberikan beban biaya kesehatan hingga Rp89,8 triliun hingga Rp249,8 triliun dalam 15 tahun ke depan,” jelas Leonard Simanjuntak.

Biaya tersebut mencakup beban sistem kesehatan nasional akibat meningkatnya risiko penyakit pernapasan, kanker, dan penyakit kardiovaskular yang berkaitan langsung dengan paparan polutan dari pembangkit gas.

Lonjakan Emisi CO₂ dan Metana Ancam Komitmen Iklim

Tak hanya soal ekonomi dan kesehatan, laporan ini juga menyoroti potensi lonjakan emisi gas rumah kaca jika pembangunan pembangkit gas fosil terus dilanjutkan. Dalam skenario 22 GW, emisi karbon dioksida (CO₂) diprediksi akan melonjak hingga 49,02 juta ton per tahun, sementara emisi metana (CH₄) dapat mencapai 43.768 ton per tahun.

“Ekspansi pembangkit gas fosil ini akan mengakibatkan lonjakan emisi CO₂ hingga 49,02 juta ton per tahun, dan emisi metana hingga 43.768 ton per tahun,” tegas Leonard.

Angka ini sangat bertolak belakang dengan target penurunan emisi Indonesia dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang telah diserahkan ke Sekretariat UNFCCC. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi hingga 31,89% secara mandiri atau 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030.

Kerugian Ekonomi dan Penurunan Tenaga Kerja

Greenpeace dan Celios juga menilai bahwa proyek pembangkit gas fosil tidak menciptakan efek berganda (multiplier effect) yang optimal bagi perekonomian nasional. Justru sebaliknya, pembangunan infrastruktur gas bersifat padat modal dan cenderung tidak menyerap tenaga kerja secara signifikan.

Sementara itu, studi menunjukkan bahwa sektor energi terbarukan seperti surya dan angin mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja per satuan energi yang dihasilkan dibandingkan energi fosil, termasuk gas. Celios menekankan pentingnya pemerintah untuk beralih ke sektor yang mampu menciptakan lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan.

Dorongan Beralih ke Energi Terbarukan

Greenpeace dan Celios mengajak pemerintah untuk menyusun ulang roadmap transisi energi nasional dengan mengedepankan energi terbarukan berbasis sumber daya lokal seperti tenaga surya, angin, mikrohidro, dan biomassa non-sawit. Pendekatan ini tidak hanya menekan emisi, tetapi juga memberikan dampak positif secara sosial dan ekonomi.

“Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah. Sayangnya, pendekatan kebijakan masih terlalu terjebak dalam logika business-as-usual yang mengedepankan solusi jangka pendek berbasis fosil,” ujar Leonard.

Selain itu, mereka juga menilai proyek seperti Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) masih memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi rendah, serta berisiko menjadi alibi perusahaan fosil untuk melanjutkan operasi tanpa transformasi yang sesungguhnya.

Tantangan Politik dan Regulasi

Meskipun data dan riset menunjukkan dampak negatif dari penggunaan gas sebagai solusi transisi, pengaruh industri fosil masih cukup kuat dalam proses pengambilan kebijakan energi nasional. Laporan Greenpeace dan Celios menyebutkan adanya ketimpangan dalam proses perumusan kebijakan, di mana suara masyarakat dan ilmuwan belum mendapat porsi setara.

Lebih jauh lagi, mereka meminta Kementerian ESDM serta Dewan Energi Nasional (DEN) untuk meninjau ulang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) agar selaras dengan target Net Zero Emissions (NZE) 2060.

Laporan riset yang diluncurkan, memberikan sinyal kuat bahwa arah transisi energi Indonesia masih belum berada di jalur yang tepat. Pemanfaatan gas fosil sebagai energi transisi bukanlah solusi yang bersih, murah, atau berkelanjutan.

Dengan beban kesehatan yang mencapai ratusan triliun rupiah, potensi lonjakan emisi yang signifikan, dan dampak negatif terhadap penciptaan lapangan kerja, pembangunan pembangkit gas seharusnya tidak dijadikan prioritas. Sebaliknya, pemerintah perlu lebih ambisius dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan yang adil dan ramah lingkungan.

“Transisi energi sejati berarti meninggalkan fosil, bukan mengganti satu jenis bahan bakar fosil dengan yang lain. Kami mendesak pemerintah untuk segera menghentikan perluasan pembangkit gas dan fokus ke energi terbarukan rakyat,” tutup Leonard Simanjuntak.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index