Energi

Permen ESDM No. 10/2025 Terbit, Peta Jalan Transisi Energi Ditegaskan, Tapi Dinilai Masih Bias Lingkungan

Permen ESDM No. 10/2025 Terbit, Peta Jalan Transisi Energi Ditegaskan, Tapi Dinilai Masih Bias Lingkungan

JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Regulasi ini menjadi acuan strategis baru dalam upaya pemerintah mempercepat transisi menuju sistem ketenagalistrikan rendah emisi. Namun, kebijakan ini menuai catatan kritis dari kalangan pemerhati lingkungan yang menilai pendekatan dalam peraturan ini masih mengandung bias terhadap aspek lingkungan.

Permen ESDM No. 10/2025 memuat sejumlah ketentuan teknis dan strategis terkait bagaimana Indonesia akan mengelola proses pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. Salah satu bagian penting dalam peraturan ini adalah penggunaan sepuluh indikator untuk menilai prioritas pensiun dini PLTU, yang disusun dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP)—sebuah metode analisis keputusan berbasis hierarki dengan pembobotan kriteria yang melibatkan para ahli lintas sektor.

Sepuluh Indikator Penilaian Pensiun Dini PLTU

Dalam dokumen resmi Permen ESDM No. 10/2025, disebutkan bahwa penilaian terhadap kelayakan pensiun dini PLTU akan dilakukan berdasarkan sepuluh indikator utama yang memiliki bobot masing-masing.

Beberapa indikator penting tersebut antara lain:

- Kapasitas PLTU, dengan bobot 4,4%

- Usia pembangkit, dengan bobot 4,4%

- Utilisasi atau capacity factor, dengan bobot 5,2%

- Ketersediaan dukungan teknologi, bobot 6,4%

- Emisi gas rumah kaca (GRK), bobot tertinggi sejauh ini yaitu 9,3%

Indikator lainnya mencakup kelayakan finansial, kesiapan sistem jaringan, dampak sosial ekonomi, keberadaan alternatif energi bersih di lokasi pembangkit, hingga kemudahan implementasi pensiun dini.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif, dalam peluncuran resmi regulasi ini menyebut bahwa peta jalan tersebut akan menjadi acuan penting bagi pengambil kebijakan dan pelaku usaha dalam menentukan langkah konkret untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.

“Permen ini menjadi panduan objektif dan terukur untuk menentukan pembangkit mana yang layak dipensiunkan dini, dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan,” ujar Arifin dalam konferensi pers di Jakarta.

Kritik dari Aktivis Lingkungan: "Masih Bias terhadap Aspek Lingkungan"

Kendati pemerintah mengklaim regulasi ini telah mengakomodasi masukan dari para ahli, sejumlah pengamat dan aktivis lingkungan menilai bahwa bobot pada indikator emisi GRK—yang hanya sebesar 9,3%—terlalu kecil untuk mencerminkan urgensi krisis iklim.

Koordinator Trend Asia, Eddy Soebowo, menilai bahwa pendekatan dalam Permen ini masih terlalu kompromistis terhadap operasional PLTU dan belum menjadikan krisis iklim sebagai landasan utama transisi energi.

“Kalau emisi hanya diberi bobot 9,3%, itu berarti aspek lingkungan tidak benar-benar jadi prioritas. Ini menunjukkan bahwa peta jalan ini bias terhadap kepentingan non-lingkungan,” ujar Eddy dalam keterangan tertulis.

Menurut Eddy, seharusnya indikator emisi memiliki bobot tertinggi karena PLTU batu bara merupakan penyumbang emisi karbon terbesar dalam sektor energi. Apalagi, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Ketidakseimbangan Antara Ekonomi dan Lingkungan

Permen ESDM No. 10/2025 memang mencoba menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan tuntutan lingkungan. Namun, dalam implementasinya, banyak pihak khawatir bahwa pendekatan berbasis analisis kuantitatif semata bisa mengaburkan urgensi moral dan ilmiah dari transisi energi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa meski AHP adalah metode ilmiah, hasilnya sangat bergantung pada siapa yang memberikan input bobot. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam proses penilaian dan keterlibatan lebih banyak pihak independen dari komunitas ilmiah dan masyarakat sipil.

“Pemerintah perlu membuka proses ini secara lebih transparan, terutama siapa saja ahli yang memberikan masukan, serta alasan pemberian bobot pada masing-masing indikator,” kata Fabby.

Harapan Implementasi dan Revisi ke Depan

Meskipun ada kritik, sejumlah kalangan tetap menyambut baik hadirnya Permen ESDM No. 10/2025 sebagai bentuk kemajuan. Keberadaan peta jalan yang bersifat normatif akan membantu lembaga pembiayaan, pelaku usaha, serta investor dalam menyusun strategi bisnis yang sejalan dengan target transisi energi.

Dari sisi pelaku industri, kebijakan ini juga bisa menjadi sinyal kepastian regulasi yang selama ini menjadi salah satu hambatan utama dalam investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.

Namun, ada harapan besar agar peraturan ini tidak berhenti di atas kertas semata. Evaluasi berkala, transparansi proses implementasi, serta peningkatan bobot aspek lingkungan di masa depan menjadi beberapa poin penting yang disuarakan para pemangku kepentingan.

Permen ESDM No. 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi menjadi langkah penting dalam membingkai arah transisi sektor ketenagalistrikan Indonesia menuju sistem yang lebih bersih dan berkelanjutan. Namun, pendekatan yang dinilai masih bias terhadap lingkungan menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah belum selesai.

Penting bagi pemerintah untuk terus memperkuat keterlibatan publik, meninjau ulang parameter evaluasi, serta memastikan bahwa krisis iklim benar-benar menjadi dasar pengambilan keputusan di sektor energi.

“Jangan sampai transisi energi ini hanya menjadi transisi teknokratis tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap bumi dan masyarakat,” tegas Eddy Soebowo.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index