Nikel

Warga Desa Bobo Tolak Kehadiran Tambang Nikel PT IMS, Soroti Pertemuan Tertutup dengan Pemerintah

Warga Desa Bobo Tolak Kehadiran Tambang Nikel PT IMS, Soroti Pertemuan Tertutup dengan Pemerintah

JAKARTA - Warga Desa Bobo, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, mengungkapkan penolakan keras terhadap kehadiran perusahaan tambang nikel, PT Intim Mining Sentosa (IMS). Penolakan ini dipicu oleh dugaan adanya pertemuan tertutup antara perusahaan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Inspektur Tambang Wilayah Maluku Utara, serta Kepala Desa Fluk dan Kepala Desa Bobo yang dianggap tidak melibatkan partisipasi masyarakat setempat.

Warga menilai bahwa pertemuan yang digelar pada Kamis, 24 April 2025, di sebuah hotel di Ternate, Maluku Utara, dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuan warga Desa Bobo. Pertemuan tersebut, menurut mereka, mengabaikan prinsip-prinsip dasar partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan ruang hidup mereka, serta tidak adanya konsultasi atau musyawarah yang layak.

PT IMS dan Konsesi Tambang Nikel di Desa Bobo

PT Intim Mining Sentosa (IMS) adalah perusahaan yang memperoleh konsesi tambang nikel seluas 3.185 hektare di Desa Bobo, Pulau Obi. Warga desa menilai bahwa kehadiran tambang tersebut tidak hanya akan mengancam lingkungan, tetapi juga merusak mata pencaharian mereka yang bergantung pada hasil alam seperti pertanian dan perikanan.

Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bobo, Amrafel Nandis Kurama, menyoroti pentingnya transparansi dalam setiap kebijakan yang memengaruhi masyarakat. Ia menjelaskan, “Pertemuan tersebut dilaksanakan tanpa sepengetahuan masyarakat Desa Bobo secara luas. Tidak ada konsultasi, musyawarah, atau pemberitahuan yang layak kepada warga. Ini merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip partisipasi rakyat yang menjadi fondasi hak atas ruang hidup.”

Berdasarkan penjelasan Amrafel, warga desa merasa telah diabaikan dalam keputusan yang sangat krusial terkait dengan masa depan lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi mereka. “Kami tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapat atau mendapatkan informasi yang cukup tentang dampak dari rencana tambang ini,” tambahnya.

Praktik Tertutup Negara-Korporasi Menurut Aktivis

Pernyataan keras juga datang dari Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara. Ia mengungkapkan bahwa pertemuan tertutup semacam itu menggambarkan adanya praktik sistematis negara-korporasi yang berusaha menyembunyikan agenda mereka dari masyarakat. “Praktik ini jelas mencerminkan bagaimana negara dan perusahaan berkolaborasi untuk meloloskan keputusan yang tidak diketahui, disetujui, atau bahkan diinginkan oleh rakyat,” ujarnya dengan tegas.

Menurut Julfikar, keputusan yang diambil tanpa partisipasi masyarakat tidak hanya melanggar prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga dapat menyebabkan warga menjadi korban dari kebijakan yang tidak mereka setujui. “Keputusan yang diambil secara sepihak oleh pemerintah dan perusahaan tambang ini berpotensi merugikan masyarakat Desa Bobo. Kami mendesak agar seluruh proses ini dibuka dan melibatkan masyarakat secara langsung,” tegas Julfikar.

Tanggapan Pemerintah dan Rencana Ke Depan

Menyusul penolakan keras yang disuarakan warga, pihak pemerintah daerah dan perusahaan tambang diharapkan dapat membuka ruang dialog yang lebih transparan dan inklusif. Pemerintah Provinsi Maluku Utara juga diminta untuk mengkaji ulang kebijakan yang menyangkut hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan tidak merugikan kepentingan masyarakat lokal.

Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan, melalui Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, menyatakan bahwa mereka akan memfasilitasi dialog antara PT IMS dan masyarakat Desa Bobo. “Kami mengakui pentingnya komunikasi yang terbuka antara perusahaan dan masyarakat. Kami akan mendorong agar pertemuan ini dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, termasuk warga Desa Bobo, untuk mencari solusi terbaik,” ujar Kepala Dinas yang enggan disebutkan namanya.

Namun, hingga berita ini diturunkan, masyarakat Desa Bobo tetap bersikukuh menolak tambang nikel tersebut jika tidak ada jaminan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan bagi mereka. Mereka menuntut agar pemerintah memberikan perhatian serius terhadap dampak yang ditimbulkan oleh industri tambang di kawasan mereka.

Dampak Lingkungan dan Sosial Tambang Nikel

Desa Bobo, yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan, khawatir akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh operasi tambang nikel. Mereka khawatir tambang tersebut akan mencemari sumber air, merusak hutan, dan mengancam keberlanjutan mata pencaharian mereka. Selain itu, potensi perubahan struktur sosial akibat hadirnya perusahaan tambang besar juga menjadi kekhawatiran warga desa.

Sejumlah warga menuturkan bahwa mereka tidak siap untuk menghadapi perubahan besar yang dapat mengganggu kehidupan mereka sehari-hari. “Kami khawatir tambang ini akan merusak lingkungan kami, yang sudah cukup baik untuk kehidupan kami selama ini. Kami butuh hidup yang lebih baik, bukan malah ancaman terhadap masa depan kami,” kata salah satu warga Desa Bobo yang enggan disebutkan namanya.

Masyarakat Menginginkan Dialog Terbuka

Untuk itu, warga Desa Bobo menuntut agar pemerintah dan PT IMS melakukan dialog terbuka dan melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap keputusan yang diambil. Mereka juga menginginkan adanya jaminan perlindungan terhadap lingkungan hidup, serta kesejahteraan sosial yang lebih baik bagi masyarakat setempat. “Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami ingin pembangunan yang memperhatikan kepentingan dan hak-hak kami sebagai warga Desa Bobo,” ujar Ketua BPD Bobo, Amrafel Nandis Kurama.

Memperjuangkan Hak atas Ruang Hidup

Kasus penolakan warga Desa Bobo terhadap kehadiran tambang nikel PT IMS menunjukkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan yang memengaruhi ruang hidup mereka. Keputusan yang diambil tanpa keterlibatan warga hanya akan menciptakan ketegangan dan potensi konflik sosial. Oleh karena itu, pemerintah dan perusahaan harus membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan transparan, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan yang mendatangkan manfaat bagi semua pihak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat lokal.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index