JAKARTA - Harga batu bara acuan dunia kembali mencatatkan tren positif dan menembus level psikologis US$ 100 per ton setelah sebelumnya terpuruk ke titik terendah dalam empat tahun terakhir. Lonjakan harga ini terjadi seiring kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan dari Australia, yang berhasil mengimbangi tekanan bearish akibat tingginya produksi dari kawasan Asia serta lemahnya permintaan global.
Merujuk data dari Refinitiv, pada akhir perdagangan Rabu 30 April 0225, harga batu bara ICE Newcastle tercatat naik 0,55% ke posisi US$ 101 per ton. Kenaikan ini memperpanjang reli positif harga batu bara menjadi enam hari berturut-turut sejak terakhir kali menyentuh level terendah US$ 93,7 per ton pada 23 April 2025.
"Kenaikan ini menandai harga energi fosil ini sudah terapresiasi enam hari beruntun dan semakin pulih dari level terendahnya dalam empat tahun sebesar US$ 93,7 per ton pada 23 April lalu," tulis laporan terbarunya.
Reli harga batu bara yang terjadi selama hampir satu pekan terakhir mengindikasikan bahwa sentimen pasar mulai bergeser dari tekanan suplai berlebih menuju kekhawatiran terhadap terganggunya rantai pasok global. Salah satu pemicu utamanya adalah potensi gangguan distribusi batu bara dari Australia, negara eksportir batu bara termal terbesar dunia.
Gangguan logistik akibat cuaca ekstrem serta hambatan operasional di pelabuhan ekspor utama Australia telah memunculkan kekhawatiran bahwa pasokan batu bara global akan mengalami penyusutan dalam waktu dekat. Hal ini pun menjadi pendorong utama kenaikan harga di pasar berjangka dan spot.
"Australia memainkan peran krusial dalam rantai pasok energi global, khususnya batu bara. Ketika terjadi gangguan dari sisi mereka, pasar langsung merespons dengan kenaikan harga," ujar analis komoditas dari Energy Watch Indonesia, Feri Wibowo.
Di sisi lain, meskipun produksi batu bara di Asia seperti di Indonesia, Tiongkok, dan India masih tinggi, tekanan dari sisi permintaan yang belum sepenuhnya pulih justru membuat pasar tetap rentan terhadap fluktuasi pasokan. Permintaan global, terutama dari sektor kelistrikan, belum menunjukkan peningkatan signifikan setelah melewati musim dingin.
Namun demikian, analis menilai bahwa penguatan harga saat ini bisa menjadi awal dari fase konsolidasi harga baru, di mana batu bara menemukan kembali titik keseimbangan antara penawaran dan permintaan.
"Kondisi pasar sangat fluktuatif. Namun jika gangguan pasokan terus terjadi, harga bisa bertahan di atas US$ 100 per ton, setidaknya dalam jangka pendek," kata Anita Prameswari, analis energi dari Standard Energy Capital.
Kenaikan harga ini menjadi kabar baik bagi negara-negara eksportir batu bara seperti Indonesia. Sebagai salah satu produsen dan eksportir terbesar dunia, Indonesia berpotensi mendapatkan keuntungan fiskal tambahan dari meningkatnya harga jual ekspor.
Beberapa emiten batu bara dalam negeri seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Bayan Resources Tbk (BYAN) juga diperkirakan akan meraih kinerja keuangan yang lebih baik pada kuartal II 2025 apabila tren ini terus berlanjut.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, tren penguatan harga ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pelaku industri nasional.
"Momentum ini memberikan peluang strategis bagi industri batu bara untuk mengoptimalkan ekspor dan meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan negara. Namun, pelaku usaha tetap harus waspada karena volatilitas pasar masih tinggi," ujar Hendra.
Kendati harga sedang naik, tantangan jangka panjang tetap membayangi industri batu bara. Transisi energi global menuju sumber energi rendah karbon semakin cepat, mendorong negara-negara maju untuk mengurangi konsumsi batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Laporan dari International Energy Agency (IEA) memperkirakan bahwa permintaan global terhadap batu bara akan mulai menurun secara bertahap dalam satu dekade ke depan, khususnya di wilayah Eropa dan Amerika Utara. Namun di negara berkembang, terutama di Asia, batu bara masih menjadi pilihan utama untuk pemenuhan energi karena faktor biaya dan ketersediaan infrastruktur.
Dengan kenaikan harga batu bara ini, pelaku pasar dan pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah strategis untuk mengelola surplus pendapatan secara bijak, sambil menyiapkan transisi ke sumber energi yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.
Kondisi pasar batu bara yang kembali menggeliat ini menunjukkan betapa sensitifnya komoditas tersebut terhadap dinamika geopolitik dan iklim. Ketergantungan terhadap negara eksportir utama seperti Australia menegaskan pentingnya diversifikasi rantai pasok global demi menjaga stabilitas harga energi dunia.
Jika tren penguatan harga terus berlanjut dalam beberapa pekan ke depan, bukan tidak mungkin harga batu bara bisa kembali mendekati level tertingginya dalam setahun terakhir, meskipun tetap dibayangi oleh faktor-faktor ketidakpastian eksternal.