Perbankan

Proyeksi Lesunya Kredit Perbankan 2025: Pengaruh Global hingga Dampak Kebijakan AS

Proyeksi Lesunya Kredit Perbankan 2025: Pengaruh Global hingga Dampak Kebijakan AS

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2025 akan berada di batas bawah kisaran target 11-13 persen. Proyeksi tersebut disampaikan langsung oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers daring yang digelar pada Rabu 23 April 2025.

Dalam keterangannya, Perry menyoroti bahwa pertumbuhan kredit yang melambat dipengaruhi oleh faktor dari sisi permintaan dan penawaran. Hal ini menjadikan sektor perbankan perlu bersiap menghadapi tantangan ekonomi baik di tingkat domestik maupun global.

"Untuk pertumbuhan kredit, tentu saja 2025, kami tadi sampaikan bahwa kecenderungannya berbagai asesmen memberikan kecenderungan atau risiko bahwa pertumbuhan kredit tahun 2025 akan menuju ke batas bawah kisaran 11-13%," ujar Perry.

Faktor Global dan Pengaruh Trump

Salah satu aspek yang disoroti Perry adalah kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang kembali mencalonkan diri sebagai Presiden. Ketegangan geopolitik, perubahan dalam tarif perdagangan, dan kebijakan moneter global diyakini turut memberi tekanan pada ketahanan sistem keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Menurut Perry, kondisi eksternal yang tidak menentu membuat perbankan nasional harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. "Ketidakpastian global memberikan dampak terhadap risk appetite perbankan dan keputusan masyarakat dalam mengajukan kredit baru," kata dia.

Sisi Permintaan: Konsumen dan Korporasi Menahan Diri

Di sisi permintaan, BI menilai bahwa baik rumah tangga maupun dunia usaha masih cenderung berhati-hati dalam melakukan ekspansi kredit. Kecenderungan menahan konsumsi dan investasi disebabkan oleh ketidakpastian harga komoditas, kurs rupiah yang fluktuatif, dan suku bunga kredit yang relatif tinggi.

“Dari sisi permintaan, konsumsi masyarakat cenderung tumbuh moderat seiring ketidakpastian global dan domestik yang belum sepenuhnya mereda,” ungkap Perry.

Sektor korporasi juga menunjukkan sikap wait and see, terutama dalam pengambilan pinjaman modal kerja maupun investasi baru. Hal ini berimbas pada perlambatan distribusi kredit produktif yang seharusnya menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi.

Sisi Penawaran: Perbankan Perketat Penyaluran Kredit

Dari sisi penawaran, Perry menjelaskan bahwa perbankan semakin selektif dalam memberikan kredit karena mempertimbangkan potensi risiko gagal bayar. Hal ini dilakukan demi menjaga kualitas aset dan rasio Non-Performing Loan (NPL) yang tetap stabil.

"Kebijakan prudensial tetap harus dijaga untuk melindungi stabilitas sistem keuangan. Kita tidak boleh lengah dalam situasi global yang penuh gejolak," katanya menegaskan.

Meski demikian, BI tetap mendorong sektor perbankan agar lebih proaktif dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas yang dinilai memiliki prospek cerah dan potensi pengganda ekonomi tinggi, seperti industri hilir, pertanian modern, dan energi baru terbarukan.

Strategi BI Hadapi Tahun 2025

Menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia menyiapkan berbagai strategi untuk tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui sektor kredit. Di antaranya adalah pelonggaran kebijakan makroprudensial secara terukur dan perluasan digitalisasi keuangan.

BI juga berkomitmen memperkuat sinergi dengan pemerintah pusat dan otoritas fiskal untuk mengakselerasi penyaluran kredit yang berkualitas dan berkelanjutan.

“Selain mempertahankan inflasi dalam sasaran, stabilitas nilai tukar, dan sistem pembayaran, BI juga akan terus mendukung pemulihan ekonomi dengan memperkuat fungsi intermediasi perbankan,” ujar Perry.

Dampak terhadap Ekonomi Nasional

Proyeksi perlambatan kredit diperkirakan akan berdampak pada sejumlah sektor yang selama ini sangat bergantung pada pembiayaan dari perbankan. Dunia usaha, terutama sektor UMKM dan properti, kemungkinan besar akan terkena dampak paling nyata.

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa perlambatan kredit akan memengaruhi penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan konsumsi domestik. “Kredit adalah darah bagi dunia usaha. Jika alirannya melambat, otomatis ekspansi bisnis pun akan tertunda,” katanya.

Bhima menyarankan agar pemerintah dan otoritas moneter memberikan insentif tambahan untuk sektor-sektor prioritas agar tetap tumbuh di tengah tekanan global.

Peluang di Tengah Tantangan

Meskipun tantangan terlihat besar, sektor perbankan Indonesia tetap memiliki peluang untuk tumbuh, terutama jika dapat melakukan inovasi dan efisiensi operasional. Penguatan layanan digital, perluasan inklusi keuangan, serta integrasi data kredit berbasis teknologi diyakini akan membantu perbankan menjangkau nasabah baru.

“Bank yang cepat beradaptasi dengan transformasi digital dan tetap menjaga kehati-hatian akan mampu mencatat pertumbuhan sehat meski dalam tekanan,” ujar Bhima.

Dengan proyeksi pertumbuhan kredit perbankan yang cenderung lesu di tahun 2025, baik pemerintah, otoritas keuangan, maupun sektor swasta perlu meningkatkan kolaborasi agar mesin ekonomi nasional tetap bergerak. Meski tekanan eksternal masih tinggi, langkah-langkah strategis dari BI dan mitigasi risiko secara sistemik dapat menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan pertumbuhan.

Sebagaimana disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo, "Stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan akan tetap menjadi prioritas utama Bank Indonesia, meskipun tantangan tahun 2025 cukup berat."

Dengan langkah bijak dan kerja sama lintas sektor, harapan menuju pemulihan ekonomi dan keberlanjutan pertumbuhan tetap terbuka lebar di tengah dinamika global yang terus berkembang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index