Nikel

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Soroti Usulan Revisi Tarif Royalti Komoditas Mineral

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Soroti Usulan Revisi Tarif Royalti Komoditas Mineral

JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah mengusulkan revisi tarif royalti untuk komoditas mineral, termasuk bijih nikel, yang sebelumnya memiliki tarif tetap sebesar 10% dan direncanakan akan diubah menjadi tarif progresif antara 14% hingga 19%, menyesuaikan dengan Harga Mineral Acuan (HMA). Usulan ini menimbulkan beragam tanggapan dari pelaku industri pertambangan dan hilirisasi mineral di Indonesia.

Pandangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI)

Kepala Badan Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (BPOK APNI), Osco Olfriady Letunggamu, menyampaikan bahwa penetapan tarif royalti harus mempertimbangkan daya tarik bagi investor. Ia menekankan pentingnya tarif yang kompetitif agar investasi di sektor pertambangan tetap menarik. "Penetapan royalti harus memutuskan tarif yang kompetitif agar tetap menarik bagi investor," ujar Osco dalam keterangannya, Senin (17/3/2025).

Selain bijih nikel, Osco juga menyoroti bahwa perubahan serupa seharusnya diterapkan pada berbagai komoditas lainnya, seperti bijih tembaga, emas, perak, platina, dan timah. Ia mengungkapkan bahwa bijih nikel dan tembaga mengalami kenaikan tarif royalti paling signifikan, terutama karena skema progresif yang diterapkan.

Kekhawatiran Pelaku Industri Pertambangan

Tidak hanya APNI, Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) juga menyuarakan kekhawatiran terkait rencana kenaikan tarif royalti ini. Direktur Eksekutif IMA, Hendra Sinadia, meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif royalti untuk enam komoditas mineral dan batu bara (minerba), termasuk batu bara, timah, emas, perak, tembaga, dan nikel. "Dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minerba terus melampaui target yang ditetapkan pemerintah," ujar Hendra.

Hendra menambahkan bahwa kenaikan tarif perpajakan, termasuk PNBP royalti, akan berdampak pada pelaku usaha dan dapat memengaruhi rencana produksi serta investasi di sektor pertambangan ke depan. Ia juga menekankan pentingnya membandingkan tarif royalti di Indonesia dengan negara-negara penghasil minerba lain agar investasi tetap kompetitif. Misalnya, tarif royalti untuk tembaga di Filipina hanya 4%, Australia berkisar antara 2,5%-7,5%, Brasil 2%, dan Kanada antara 1%-17% dari penghasilan bersih.

Usulan Tarif Royalti Progresif dan Dampaknya

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan kenaikan tarif royalti atau PNBP di sektor minerba melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM. Salah satu usulan tersebut adalah penerapan tarif progresif atas bijih nikel yang naik mulai 14%-19% dari sebelumnya yang hanya 10%, menyesuaikan dengan HMA. Angka kenaikan tersebut yakni 40%-90% dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.

Selain itu, tarif progresif nikel matte sebagai bahan baku baterai diusulkan naik menjadi 4,5%-6,5% menyesuaikan HMA, sedangkan windfall profit dihapus. Sebelumnya, berlaku single tariff 2% dan windfall profit bertambah 1%. Angka kenaikan ini adalah sebesar 150%-200% dari single tariff bijih nikel yang berlaku sebelumnya.

Tanggapan Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspebindo)

Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspebindo) mengusulkan penerapan skema tarif royalti yang dinamis untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor batu bara dan mineral. Ketua Umum Aspebindo, Fathul Rakhman, menyatakan bahwa kenaikan tarif sebaiknya dilakukan secara bertahap dan tidak lebih dari 100% dari tarif saat ini. Beberapa tarif yang akan naik hingga tiga kali lipat, antara lain bijih tembaga dari 5% menjadi 17% dan nickel matte dari 2% menjadi 6,5%.

Dampak Terhadap Produksi dan Investasi

Kenaikan tarif royalti yang signifikan ini dikhawatirkan dapat memicu penurunan produksi batubara Indonesia. Indonesia Mining Association (IMA) menilai bahwa kenaikan royalti minerba dapat memicu penurunan produksi batubara Indonesia.

Selain itu, pelaku industri pertambangan juga menghadapi berbagai tantangan lain, seperti kenaikan biaya operasional akibat penghapusan subsidi biodiesel, kenaikan upah minimum regional, dan kebijakan harga patokan batu bara pemerintah. Kebijakan baru yang mengharuskan eksportir menyimpan semua hasil sumber daya di dalam negeri selama setahun juga memperketat aliran kas.

Usulan revisi tarif royalti komoditas mineral, khususnya bijih nikel, menimbulkan pro dan kontra di kalangan pelaku industri pertambangan. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) menekankan pentingnya penetapan tarif yang kompetitif agar tetap menarik bagi investor dan tidak menghambat produksi serta investasi di sektor pertambangan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index