JAKARTA - Keputusan Bupati Indramayu, Lucky Hakim, untuk berlibur ke Jepang tanpa izin resmi dari Gubernur Jawa Barat maupun Menteri Dalam Negeri (Mendagri), memicu polemik dan sorotan tajam dari berbagai pihak. Liburan yang dilakukan pada momen Lebaran tersebut bukan hanya dianggap mencederai etika pejabat publik, tetapi juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), yang berpotensi berujung pada sanksi pemberhentian sementara.
Langkah Lucky Hakim yang memilih berlibur ke luar negeri saat Lebaran—tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada gubernur atau Mendagri—menuai kemarahan dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Menurut Dedi, keberangkatan Bupati Indramayu tersebut dilakukan secara diam-diam dan tanpa izin, padahal dalam momen Lebaran, kepala daerah justru memiliki peran penting dalam mengatur dan memastikan kelancaran arus mudik dan balik, terutama di wilayah pesisir utara Jawa Barat yang menjadi jalur utama pergerakan masyarakat.
“Saya sudah coba hubungi Pak Lucky melalui WhatsApp untuk klarifikasi, tapi tidak dijawab. Saya kecewa karena tidak ada etika konfirmasi atau izin kepada saya sebagai gubernur,” ujar Dedi Mulyadi dalam unggahannya di media sosial.
Ungkapan kekecewaan Dedi juga dituangkan dalam unggahan video di akun TikTok resminya, @dedimulyadiofficial. Dalam video tersebut, Dedi menyindir dengan tulisan, “Selamat Berlibur Pak Lucky Hakim, Nanti Kalau ke Jepang Lagi, Bilang Dulu Yah…” Video itu kemudian viral dengan jumlah penayangan mencapai jutaan kali dalam waktu singkat.
Lebih jauh, Dedi menegaskan bahwa tindakan Lucky Hakim secara eksplisit melanggar Pasal 76 Ayat (1) poin (i) UU Pemda, yang menyatakan bahwa kepala daerah maupun wakil kepala daerah dilarang bepergian ke luar negeri tanpa izin menteri. Sanksi untuk pelanggaran tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Ayat (2), berupa pemberhentian sementara selama tiga bulan.
“Seharusnya kepala daerah ada di tempat saat rakyatnya merayakan Lebaran. Apalagi Indramayu merupakan daerah krusial dalam arus mudik nasional,” kata Dedi dengan tegas.
Setelah kabar ini menyebar luas, Lucky Hakim akhirnya menghubungi Dedi Mulyadi dan meminta maaf karena telah bepergian tanpa izin. Ia berdalih, perjalanannya ke Jepang adalah bentuk pemenuhan keinginan anak-anaknya untuk berlibur. Kendati demikian, permintaan maaf tersebut tidak langsung meredakan polemik, terutama karena aspek hukum dan etika kepemimpinan yang dinilai telah dilanggar.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, turut menyuarakan keprihatinan atas kasus ini dan menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri akan segera memanggil Lucky Hakim untuk meminta klarifikasi.
“Pak Bupati akan kami minta penjelasan. Mungkin waktu retret kepala daerah, beliau terlewat memahami penjelasan Pak Mendagri soal kewajiban dan larangan bagi kepala daerah,” ujar Bima Arya kepada Kompas.com.
Bima menegaskan bahwa aturan dalam UU Pemda sangat jelas dan tidak bisa ditawar. Oleh karena itu, Kemendagri akan memproses kasus ini sesuai prosedur yang berlaku.
Dari sisi legislatif, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, juga menyayangkan keputusan Lucky. Ia menilai bahwa meskipun keinginan untuk berlibur bersama keluarga saat Lebaran bisa dimengerti, kepala daerah tetap memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin pelayanan publik dan pengelolaan wilayah, khususnya saat periode krusial seperti musim mudik.
“Pertama, kepala daerah itu punya tugas berat di saat Lebaran. Mereka bertanggung jawab atas keamanan, pengaturan lalu lintas, serta distribusi bantuan dan pelayanan masyarakat,” kata Dede Yusuf.
Meski demikian, Dede menyarankan agar sanksi pemberhentian belum langsung dijatuhkan. Menurutnya, langkah yang paling tepat saat ini adalah memberikan pembinaan dan edukasi kepada yang bersangkutan agar memahami aturan yang berlaku.
“Saya sarankan agar Pak Lucky diberi kesempatan untuk mengklarifikasi dan meminta maaf secara terbuka. Kemendagri perlu memberi pembinaan agar kasus serupa tidak terulang,” lanjut Dede.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan, menilai bahwa kasus ini menjadi bukti lemahnya pemahaman kepala daerah baru terhadap regulasi yang mengikat jabatan mereka. Ia menyoroti proses pembekalan kepala daerah pasca-Pilkada 2024 yang dinilai terlalu singkat.
“Pembekalan kepala daerah yang dilakukan hanya seminggu itu belum cukup. Padahal, dulu bisa sampai empat minggu. Harusnya mereka paham, kepala daerah tidak sama dengan ASN yang bisa mengambil cuti. Mereka itu pemimpin daerah yang harus selalu ada,” jelas Djohermansyah.
Ia menambahkan bahwa meskipun tindakan Lucky Hakim dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, langkah pemberhentian sementara tidak bisa serta-merta diambil. Menurutnya, harus ada tahapan pembinaan dan peringatan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi berat.
“Jangan langsung diberhentikan. Harus ada tahapan: mulai dari teguran, pembinaan, baru jika tetap melanggar, sanksi dijatuhkan. Kalau diberhentikan pun, kepala daerah harus disekolahkan agar tak mengulangi kesalahan yang sama,” kata mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri ini.
Sebagai catatan, aturan yang dilanggar Lucky Hakim terdapat dalam Pasal 76 Ayat (1) huruf (i) UU Nomor 23 Tahun 2014 yang berbunyi, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri.” Sedangkan ancaman sanksi dijelaskan dalam Pasal 77 Ayat (2) bahwa pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenai sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan oleh presiden (untuk gubernur) atau oleh menteri (untuk bupati/walikota).
Kejadian ini dinilai menjadi momentum penting untuk memperkuat tata kelola pemerintahan daerah serta meningkatkan pemahaman kepala daerah terhadap regulasi yang mengatur mereka. Selain itu, menjadi tugas Kemendagri untuk memperbaiki mekanisme pembekalan agar kepala daerah memahami secara menyeluruh tugas, kewajiban, serta batasan hukum dalam menjalankan amanat jabatan.
“Ini momentum untuk tingkatkan knowledge para kepala daerah soal aturan dan kewajiban mereka. Kemendagri harus menyusun ulang pola pelatihan dengan payung hukum yang jelas agar tak ada lagi kepala daerah yang melanggar aturan karena ketidaktahuan,” pungkas Djohermansyah.
Kasus liburan tanpa izin Lucky Hakim kini menjadi contoh konkret yang bisa menjadi pelajaran bagi 961 kepala daerah hasil Pilkada 2024 yang baru dilantik. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan bukan hanya menjadi syarat administratif, tapi juga wujud tanggung jawab moral dalam memimpin daerah dan melayani rakyat.