JAKARTA - Bursa saham Asia kembali berguguran pada awal pekan ini, memperpanjang tren negatif yang sudah berlangsung sejak pekan lalu. Aksi jual besar-besaran terjadi di berbagai bursa utama kawasan, menyusul ketegangan perdagangan global yang kian membara setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberlakukan tarif impor terhadap 180 negara, termasuk Indonesia dan China.
Pelemahan pasar saham ini disebut-sebut sebagai salah satu dampak paling nyata dari kebijakan proteksionis Trump yang dianggap membahayakan stabilitas perdagangan internasional. Pada perdagangan Senin, indeks-indeks saham utama di Asia ditutup dengan penurunan tajam, menandai salah satu hari terburuk sepanjang tahun ini.
Hang Seng dan Nikkei Terpukul Paling Dalam
Bursa Hong Kong memimpin kerugian regional. Indeks Hang Seng ditutup anjlok 13,22 persen atau terpangkas 3.021,51 poin ke posisi 19.828,30. Penurunan tajam ini menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah indeks tersebut dalam satu sesi perdagangan.
Sementara itu, bursa saham China daratan juga turut ambruk. Indeks CSI 300, yang mencerminkan performa saham-saham unggulan di bursa Shanghai dan Shenzhen, jatuh 7,05 persen atau 272 poin ke level 3.589. Indeks Shanghai sendiri kehilangan 7,34 persen atau sekitar 245 poin dan berakhir di level 3.096,58.
Di Jepang, indeks acuan Nikkei 225 jatuh 7,83 persen atau 2.644 poin ke level 31.136,58. Ini merupakan level terendah dalam 18 bulan terakhir. Indeks Topix, yang memiliki cakupan lebih luas, ikut anjlok 7,79 persen atau 193 poin ke posisi 2.288.
Korea dan Australia Tak Luput dari Koreksi
Tekanan penurunan juga terasa kuat di bursa Korea Selatan. Indeks Kospi memangkas sebagian kerugian di akhir sesi, namun tetap ditutup melemah 5,57 persen atau 137 poin ke level 2.328,20.
Di Australia, indeks S&P/ASX 200 terperosok 4,23 persen atau 324 poin dan berakhir di level 7.343,30. Investor di Negeri Kanguru mencemaskan potensi perlambatan global akibat saling balas tarif antara negara-negara besar.
Efek Domino ke Indonesia dan Asia Tenggara
Meskipun Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang libur pada hari ini, tekanan jual diprediksi akan langsung terjadi saat perdagangan dibuka kembali. Pengamat pasar modal memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi terkoreksi tajam pada pembukaan perdagangan esok hari.
Sementara itu, nilai tukar rupiah di pasar internasional juga tidak luput dari tekanan. Rupiah telah menembus level psikologis Rp17.000 per dolar Amerika Serikat. Melemahnya rupiah dipicu oleh arus modal asing yang keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Pelemahan tajam ini adalah respons dari pasar terhadap keputusan Presiden Trump yang menaikkan tarif impor terhadap barang dari 180 negara. Ini bukan lagi perang dagang dua arah seperti dulu antara AS dan China, melainkan sudah menyerupai perang dagang global,” ujar seorang analis senior pasar modal kepada media.
Tarif Trump Picu Ketegangan Perdagangan Global
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Donald Trump telah mengumumkan penerapan tarif impor hingga 34 persen terhadap produk asal China. Sebagai respons, pemerintah China langsung membalas dengan mengenakan tarif serupa terhadap barang-barang asal Amerika.
Indonesia juga tidak luput dari kebijakan ini. Barang ekspor dari Tanah Air dikenakan tarif hingga 32 persen, sementara Vietnam mendapat tarif lebih tinggi lagi, yakni 41 persen.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor akan terjadinya pelambatan ekonomi global. Perdagangan internasional yang terganggu dikhawatirkan akan memukul aktivitas manufaktur, ekspor, serta pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.
Respon Pasar Terhadap Eskalasi Perang Dagang
Para pelaku pasar merespons kebijakan ini dengan aksi jual besar-besaran atas aset berisiko, termasuk saham dan mata uang negara berkembang. Lonjakan volatilitas pun tak terhindarkan.
“Pasar saham Asia sedang mengalami tekanan hebat akibat ketidakpastian global yang meningkat tajam. Ketegangan dagang ini menciptakan keresahan investor karena dampaknya bisa luas, termasuk pada rantai pasok global,” ujar salah satu kepala riset dari lembaga keuangan internasional.
Menurut analis, para investor kini memilih untuk mengamankan dana mereka ke aset yang dianggap lebih aman seperti emas dan dolar AS. Hal ini juga turut mendorong penguatan dolar terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Potensi Dampak bagi Ekonomi Domestik
Ekonom menilai bahwa perang dagang ini tidak hanya berdampak pada pasar saham dan mata uang, tetapi juga bisa berimbas ke sektor riil dan pertumbuhan ekonomi domestik. Meningkatnya beban impor akibat tarif dan nilai tukar yang lemah bisa memicu inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
“Salah satu risiko nyata dari perang dagang adalah menurunnya kinerja ekspor Indonesia. Jika volume ekspor turun dan biaya impor meningkat, neraca dagang bisa terganggu. Ini bisa menekan cadangan devisa dan memperlemah ekonomi secara umum,” ungkap seorang ekonom dari institusi riset keuangan.
Ia juga menekankan bahwa Bank Indonesia mungkin harus kembali menyesuaikan suku bunga acuan sebagai respons terhadap volatilitas pasar keuangan dan tekanan pada nilai tukar.