JAKARTA - Rasio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia masih tergolong rendah di tengah tantangan menurunnya daya beli masyarakat dan tingginya backlog perumahan. Hal ini menandakan bahwa akses masyarakat terhadap kepemilikan rumah belum membaik secara signifikan, meskipun pemerintah dan sektor perbankan terus berupaya mendorong penyaluran pembiayaan perumahan.
Bank Indonesia (BI) mencatat, rasio KPR terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada triwulan IV 2023 hanya mencapai 3,16 persen. Angka ini naik tipis dibandingkan posisi triwulan sebelumnya yang berada di level 3,10 persen. Rasio ini masih sangat jauh dibandingkan negara-negara tetangga yang telah memiliki sistem pembiayaan perumahan yang lebih maju.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menilai bahwa rendahnya rasio KPR ini berkaitan erat dengan tingginya angka backlog perumahan di Indonesia. Backlog sendiri adalah selisih antara jumlah rumah yang tersedia dengan kebutuhan rumah masyarakat.
“Angka backlog masih tinggi. Kalau kita lihat, daerah seperti Jawa dan Sumatra menjadi penyumbang terbanyak. Sementara Papua tidak memiliki backlog yang signifikan karena jumlah penduduknya relatif lebih sedikit,” ujar Solikin dalam Taklimat Media di Kantor Pusat BI, Jakarta Pusat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa backlog perumahan pada 2023 mencapai 9,9 juta unit, menurun dari 10,51 juta unit pada tahun sebelumnya. Meski mengalami perbaikan, angka ini tetap menunjukkan bahwa jutaan masyarakat Indonesia masih belum memiliki rumah yang layak.
Dalam konteks kepemilikan rumah, mayoritas KPR masih disalurkan untuk pembelian rumah tapak nonsubsidi. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) melaporkan bahwa sepanjang 2024 pihaknya telah menyalurkan KPR bersubsidi sebesar Rp173,84 triliun, naik 7,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara itu, KPR nonsubsidi tercatat sebesar Rp105,95 triliun, tumbuh 10,2 persen hingga akhir tahun 2024.
“Kalau kita lihat juga, dari sisi rasio KPR kita masih rendah. Ini menjadi perhatian penting, termasuk bagi Presiden. Perlu ada langkah nyata untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap KPR,” tambah Solikin.
Namun, rendahnya minat masyarakat dalam mengakses KPR bukan semata karena kurangnya dukungan kebijakan. Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, menyebut bahwa faktor utama penyebab lemahnya penyaluran KPR adalah turunnya daya beli masyarakat serta meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
“Penurunan daya beli masyarakat sangat memengaruhi minat terhadap kepemilikan rumah, baik rumah tapak maupun hunian vertikal. Ditambah lagi dengan gelombang PHK yang menyebabkan ketidakpastian finansial di kalangan masyarakat,” ujar Bambang saat dihubungi secara terpisah.
Menurutnya, kondisi ini tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga pada para pengembang properti. Ketidakpastian ekonomi yang ditandai dengan protes terhadap Undang-Undang TNI dan pelemahan rupiah terhadap dolar AS turut menambah beban para pengembang.
“Dari sisi pengembang, harga rumah yang bisa kami tawarkan juga menjadi tantangan. Kami ingin menawarkan harga terjangkau untuk konsumen, tetapi juga butuh margin agar tetap bisa membangun. Sekarang ini, harga yang ditetapkan pemerintah untuk rumah subsidi jauh di bawah biaya konstruksi,” jelas Bambang.
REI menilai bahwa solusi mengurangi backlog adalah dengan mendorong pembangunan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sayangnya, hanya sedikit pengembang yang bersedia mengambil peran dalam penyediaan rumah murah karena skema harga dari pemerintah yang dianggap tidak realistis.
“Kuncinya adalah harga yang fair. Pemerintah bisa capai target, kami pun bisa tetap bertahan. Kalau patokannya masih lebih rendah dari biaya konstruksi, itu sangat tidak memungkinkan bagi kami untuk terus membangun rumah bersubsidi,” lanjut Bambang.
Hingga kini, REI hanya dapat berkontribusi melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sementara itu, program ambisius pemerintah yakni pembangunan 3 juta rumah, belum jelas dari sisi pendanaan sehingga belum menarik minat banyak pengembang.
Selain itu, skema pembiayaan KPR dari perbankan nasional yang masih tergolong berat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat. Tingkat suku bunga KPR yang berkisar di atas 7 persen dinilai terlalu tinggi untuk dijangkau oleh MBR.
“Kalau untuk MBR, solusi satu-satunya adalah dengan subsidi. Kalau sekarang ini hunian vertikal komersial memang lebih berkembang, tetapi itu sangat bergantung pada daya beli. Dengan harga yang makin tinggi dan daya beli yang menurun, penyerapan pasar pun melambat,” terang Bambang.
Tren kenaikan harga properti juga memperparah keadaan. BPS dalam laporan Indeks Harga Properti Perumahan (IHPP) 2024 mencatat bahwa harga properti telah naik sebesar 10,90 persen sejak 2019. Dalam lima tahun terakhir, harga rumah meningkat 11,19 persen, sementara harga apartemen naik sebesar 5,52 persen.
IHPP 2024 juga mencatat bahwa pada Maret 2024, harga properti baru mengalami peningkatan 2,76 persen dibandingkan Maret 2023. Rinciannya, harga rumah naik sebesar 2,97 persen, sedangkan harga apartemen justru turun 1,03 persen.
Situasi ini menjadi sinyal peringatan bagi semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, perbankan, maupun pengembang. Perlu ada sinergi kebijakan yang lebih kuat agar masalah keterjangkauan perumahan bisa segera diatasi.
“Kalau tidak ada terobosan, masalah backlog akan terus membesar dan masyarakat, khususnya generasi muda, makin sulit menjangkau rumah pertama mereka,” pungkas Bambang.
Dalam menghadapi tantangan ini, Bank Indonesia dan otoritas terkait diharapkan dapat terus mendorong inovasi kebijakan makroprudensial dan pembiayaan yang lebih inklusif, sehingga mimpi masyarakat Indonesia untuk memiliki rumah sendiri bisa menjadi kenyataan, bukan sekadar wacana.