JAKARTA - Pelaku usaha di sektor pertambangan menyatakan penolakan terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif royalti pertambangan. Kebijakan ini dianggap tidak tepat waktu, mengingat industri tambang saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari harga komoditas yang anjlok hingga meningkatnya beban operasional perusahaan.
Ketua Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menegaskan bahwa kenaikan royalti bisa semakin membebani perusahaan tambang, yang saat ini sedang berjuang menghadapi kondisi pasar yang kurang menguntungkan.
"Market sedang jatuh, harga juga turun, dan beban perusahaan terus meningkat. Ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan royalti," ujar Hendra saat ditemui usai diskusi bertajuk "Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel" yang digelar oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Hotel Sultan, Jakarta, Senin 17 Maret 2025.
Kondisi Industri Tambang Sedang Tertekan
Industri pertambangan, khususnya sektor nikel, batu bara, dan mineral lainnya, mengalami tekanan signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Harga komoditas tambang mengalami penurunan tajam, yang berimbas pada turunnya pendapatan perusahaan. Di sisi lain, beban produksi terus meningkat, terutama akibat lonjakan biaya bahan bakar, tenaga kerja, dan pajak lainnya.
Sejumlah perusahaan tambang mengaku bahwa kondisi saat ini sudah cukup berat tanpa adanya tambahan beban fiskal dari kenaikan tarif royalti. Jika kebijakan ini tetap diterapkan, pelaku usaha khawatir akan ada pengurangan tenaga kerja hingga potensi penurunan produksi.
Menurut Hendra Sinadia, pemerintah seharusnya melihat dampak ekonomi secara keseluruhan sebelum mengambil keputusan terkait kenaikan royalti.
"Kita harus memahami bahwa sektor pertambangan adalah salah satu penyumbang devisa terbesar negara. Jika beban semakin besar, maka daya saing industri tambang Indonesia bisa menurun," tegasnya.
Selain itu, para pelaku usaha juga menyoroti dampak kenaikan royalti terhadap investasi sektor tambang. Banyak investor yang masih mempertimbangkan ekspansi di Indonesia, namun dengan adanya kebijakan ini, dikhawatirkan mereka akan memilih berinvestasi di negara lain yang lebih kompetitif dari sisi pajak dan regulasi.
Respon Pemerintah: Kenaikan Royalti untuk Peningkatan Pendapatan Negara
Sementara itu, pemerintah berdalih bahwa kenaikan tarif royalti bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pertambangan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai bahwa kontribusi dari industri tambang masih bisa dimaksimalkan melalui kebijakan fiskal yang lebih optimal. Apalagi, sektor ini selama bertahun-tahun menjadi salah satu penyumbang utama Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Menurut sumber dari Kementerian ESDM, pemerintah sedang mengkaji skema kenaikan royalti yang lebih proporsional, agar tidak terlalu membebani perusahaan namun tetap memberikan manfaat bagi negara.
"Kami memahami kondisi industri, namun kita juga harus mencari keseimbangan antara kepentingan negara dan dunia usaha. Royalti ini nantinya akan dikaji lebih lanjut agar tidak memberatkan pelaku usaha," ujar seorang pejabat Kementerian ESDM yang enggan disebut namanya.
Pemerintah juga menegaskan bahwa kenaikan royalti ini akan lebih difokuskan pada komoditas tertentu yang memiliki nilai jual tinggi dan permintaan global yang stabil, seperti nikel dan batu bara.
Namun, pelaku usaha tetap menilai bahwa kenaikan royalti di tengah harga komoditas yang sedang melemah akan semakin membebani industri dan berpotensi menghambat pertumbuhan sektor tambang nasional.
Pelaku Usaha Pertambangan Minta Kebijakan Ditinjau Ulang
Asosiasi pertambangan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang rencana kenaikan tarif royalti dengan mempertimbangkan kondisi industri saat ini.
Ketua Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan bahwa kenaikan royalti akan berdampak besar bagi para penambang nikel, terutama bagi mereka yang masih dalam tahap pengembangan proyek.
"Banyak perusahaan tambang yang masih dalam fase awal produksi atau bahkan baru memulai eksplorasi. Jika tarif royalti naik, mereka bisa kesulitan untuk bertahan," ungkap Meidy.
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan faktor keberlanjutan investasi, terutama karena sektor tambang membutuhkan biaya besar dalam eksplorasi dan produksi. Jika regulasi pajak dan royalti semakin ketat, investor bisa beralih ke negara lain yang lebih kompetitif.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menambahkan bahwa stabilitas regulasi sangat penting untuk kepastian usaha di sektor tambang.
"Investor butuh kepastian. Jika aturan terus berubah dan beban semakin besar, maka industri tambang Indonesia bisa kalah bersaing dengan negara lain," tegasnya.
Dampak terhadap Ekonomi dan Lapangan Kerja
Kenaikan tarif royalti juga berpotensi berdampak negatif terhadap lapangan kerja di sektor tambang. Jika beban operasional perusahaan meningkat, ada kemungkinan beberapa perusahaan akan melakukan efisiensi tenaga kerja.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, sektor pertambangan menyerap lebih dari 1,2 juta tenaga kerja langsung dan jutaan pekerja tidak langsung dalam rantai pasoknya. Jika kenaikan royalti membuat perusahaan mengurangi produksi atau bahkan menghentikan operasional, maka akan ada dampak signifikan terhadap lapangan pekerjaan dan ekonomi daerah.
Di beberapa daerah penghasil tambang seperti Kalimantan dan Sulawesi, industri pertambangan menjadi sumber utama perekonomian. Jika sektor ini terganggu, maka perekonomian lokal juga akan terdampak.
"Kami khawatir jika kebijakan ini diterapkan tanpa kajian mendalam, justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tambang," ujar Ketua Kadin Kalimantan Timur, Rudi Hartono.
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif royalti pertambangan mendapat penolakan dari para pelaku usaha di sektor tambang. Mereka menilai kebijakan ini tidak tepat waktu, mengingat kondisi industri saat ini sedang menghadapi tantangan besar, mulai dari harga komoditas yang melemah hingga meningkatnya beban operasional.
Pelaku usaha meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap investasi, daya saing industri, serta lapangan kerja.
Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa kenaikan royalti bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, namun akan tetap melakukan kajian agar tidak terlalu membebani pelaku industri.
Keputusan akhir mengenai kenaikan tarif royalti ini masih dalam tahap pembahasan. Para pemangku kepentingan berharap agar kebijakan yang diambil nantinya tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan keberlanjutan industri tambang nasional.