JAKARTA - Menyambut musim mudik dan arus balik Lebaran 2025, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan pembatasan operasional angkutan barang, sebuah kebijakan yang diprediksi akan berdampak signifikan terhadap sektor logistik di Indonesia. Kebijakan tersebut berlaku selama 16 hari, dengan tujuan utama untuk mengurangi kemacetan yang kerap terjadi selama masa mudik. Namun, kebijakan ini mendapatkan berbagai respons dari para pelaku usaha, khususnya kelompok importir.
Respon dari Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI)
Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), melalui Ketua Umum mereka, Subandi, menyatakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memicu kenaikan biaya logistik. Subandi menekankan perlunya kebijakan ini diimbangi dengan solusi komprehensif untuk menghindari lonjakan biaya. Menurut Subandi, selain melarang operasional angkutan barang, pemerintah seharusnya menyediakan insentif bagi perusahaan yang menimbun kargo di pelabuhan selama masa larangan berlangsung.
"Harusnya bukan cuma melarang, tetapi memberikan solusi yang baik dan tidak menimbulkan biaya yang tinggi," ujar Subandi dalam wawancara dengan Bisnis.com pada Senin 10 Maret 2025. Subandi menambahkan bahwa kenaikan biaya logistik tidak sejalan dengan imbauan pemerintah untuk menekan biaya operasional agar tetap stabil.
Dampak Kebijakan terhadap Sektor Logistik
Pemberlakuan pembatasan operasional selama periode kritis ini menimbulkan kegelisahan di kalangan importir dan pelaku industri lainnya. Banyak yang khawatir bahwa pembatasan tersebut dapat menghambat aliran barang, meningkatkan waktu tunggu di pelabuhan, dan pada akhirnya memicu kenaikan biaya penyimpanan dan distribusi.
Di sisi lain, pihak pemerintah berpendapat bahwa pembatasan ini adalah langkah strategis untuk mencegah kemacetan yang lebih parah di jalan-jalan utama, yang menjadi jalur arus mudik. Namun, kurangnya alternatif atau insentif bagi pengusaha dinilai bisa memperburuk situasi.
Usulan Kebijakan Kompensasi
Menghadapi situasi ini, Subandi dan GINSI mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan pemberian kompensasi atau insentif bagi perusahaan yang terkena dampak langsung dari pembatasan ini. Insentif ini bisa berupa pengurangan biaya penumpukan kargo di pelabuhan atau subsidi khusus untuk perusahaan yang terpaksa menunda pengiriman barang mereka.
“Kami berharap pemerintah bisa mendengar dan mempertimbangkan usulan kami. Pemberian insentif atau kompensasi akan sangat membantu perusahaan dalam mengelola biaya operasional yang meningkat akibat kebijakan pembatasan ini,” kata Subandi lebih lanjut.
Perspektif dari Sektor Logistik lainnya
Selain importir, kebijakan ini juga memperoleh perhatian serius dari perusahaan-perusahaan logistik dan perkapalan. Muchlis Santoso, Direktur Operasi dari salah satu perusahaan logistik terkemuka di Indonesia, menyatakan bahwa pembatasan ini kemungkinan besar akan memangkas efisiensi dalam distribusi barang.
“Efisiensi adalah kunci utama dalam bisnis logistik. Dengan adanya pembatasan ini, kami harus mencari cara untuk mengadaptasi jadwal pengiriman kami, yang sayangnya bisa menambah biaya operasional,” terang Muchlis.
Rekomendasi dari Para Pengamat Ekonomi
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Dr. Indra Wirawan, mengungkapkan pendapatnya bahwa kebijakan pembatasan ini memang memiliki niat baik untuk mengurai kemacetan namun tetap harus diimbangi dengan kebijakan pendukung lain. “Pemerintah sebaiknya juga melihat dari perspektif bisnis dan ekonomi. Jika biaya logistik melonjak drastis, pada akhirnya harga barang juga akan naik, dan konsumen yang akan menderita,” ujar Dr. Indra.
Dr. Indra menambahkan bahwa pemerintah mungkin perlu memikirkan strategi jangka panjang, seperti pengembangan infrastruktur transportasi yang bisa mengurangi kebutuhan pembatasan seperti ini di masa depan.
Pemberlakuan pembatasan operasional angkutan barang selama mudik dan arus balik Lebaran 2025 merupakan kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan untuk mengurangi kemacetan. Namun, bagi sektor logistik, terutama para importir, kebijakan ini menghadirkan tantangan baru dalam pengelolaan biaya operasional. Tanpa adanya insentif atau solusi alternatif dari pemerintah, kenaikan biaya logistik bisa menjadi tak terhindarkan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga barang dan daya beli masyarakat.
Pemerintah diharapkan bisa mempertimbangkan pertimbangan dari semua pihak yang terdampak untuk mencapai solusi yang lebih seimbang antara kebutuhan pengendalian lalu lintas dan stabilitas biaya logistik. Adanya dialog yang konstruktif antara pemangku kepentingan dan pemerintah akan menjadi kunci dalam menyelesaikan problematika ini agar tidak menimbulkan efek domino yang memberatkan perekonomian secara keseluruhan.