JAKARTA - Kasus penggerebekan yang berujung pada perkawinan dua remaja di Lampung Timur mencuatkan kembali isu perkawinan anak di Indonesia. Insiden ini juga memicu perhatian serius dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk memastikan hak-hak dasar kedua anak tersebut, khususnya dalam hal pendidikan, tetap terjamin. Untuk itu, KemenPPPA segera berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Lampung.
"Hal yang perlu menjadi perhatian kita adalah bagaimana pemenuhan hak anak tetap dijamin setelah kejadian ini, seperti hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, terutama kesehatan reproduksi, akses terhadap informasi, serta pengawasan dari keluarga," ungkap Sekretaris KemenPPPA, Titi Eko Rahayu, dalam pernyataannya di Jakarta pada hari Rabu.
Kasus ini mempertegas tantangan serius yang dihadapi Indonesia dalam memerangi praktek perkawinan usia anak. Meskipun pemerintah telah berupaya keras untuk menaikkan batas minimal usia pernikahan, realita yang terjadi di lapangan seringkali berbeda. Apalagi, dalam banyak kasus, seperti yang terjadi di Lampung Timur, keputusan untuk menikahkan anak kerap kali muncul sebagai jalan pintas dari tekanan sosial.
"Kami prihatin dengan pergaulan remaja yang semestinya tidak dilakukan sebelum resmi menikah. Namun, di satu sisi kami juga sangat menyayangkan keputusan dari pihak keluarga yang mengambil jalan pintas untuk menikahkan para korban. Perkawinan pada usia anak memiliki dampak negatif yang besar," lanjut Titi Eko Rahayu.
Menurut Titi, dampak buruk dari perkawinan anak bukan sekadar memengaruhi aspek sosial dan psikologis, namun juga sangat mengancam hak dasar anak untuk mendapat pendidikan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018, anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk putus sekolah.
"Ini adalah hal yang perlu kita cegah bersama. Putus sekolah tidak hanya menghambat perkembangan karir mereka di masa depan, tetapi juga mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjadi mandiri secara finansial. Sebuah kerugian berantai yang bisa dicegah sebenarnya," ujar Titi.
Selain itu, anak yang menikah di bawah usia 18 tahun cenderung memiliki akses terbatas ke peluang kerja di sektor formal, dan jika pun bekerja, pendapatan mereka biasanya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang menikah di usia dewasa. Hal inilah yang kemudian memperpanjang siklus kemiskinan antar generasi.
Sebelumnya, insiden yang terjadi pada Minggu (9/2), menimpa seorang remaja laki-laki dan seorang remaja perempuan di Kabupaten Lampung Timur. Penggerebekan yang dilakukan warga setempat terhadap kedua pelajar ini kemudian diabadikan dalam sebuah video yang viral di media sosial. Setelah penggerebekan, kedua remaja tersebut dinikahkan secara agama dengan persetujuan kedua keluarga.
Keprihatinan terhadap kasus ini juga datang dari berbagai pihak, termasuk Eny Retno Yaqut, yang menyatakan bahwa "perkawinan anak mengancam hak dan kesehatan mereka. Demikian pula, Wakil Gubernur Lampung menekankan pentingnya pembinaan khusus bagi siswa untuk mencegah kenakalan remaja."
Langkah yang dilakukan oleh KemenPPPA dan DP3A Provinsi Lampung tidak hanya fokus pada pendidikan kedua anak tersebut, namun juga memberikan dukungan dan bimbingan terkait kesehatan reproduksi serta pengawasan langsung oleh keluarga agar situasi serupa tidak terulang kembali. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga diharapkan dapat bersinergi dengan instansi terkait untuk memberikan pendidikan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai dampak negatif perkawinan usia dini, serta pentingnya memberi anak kesempatan memperoleh pendidikan yang layak.
Dalam jangka panjang, diharapkan sinergi ini mampu menciptakan perubahan sosial di masyarakat terkait pandangan terhadap perkawinan di usia anak. Perlahan namun pasti, dengan intervensi edukatif yang baik serta dukungan kebijakan pemerintah yang kuat, kasus-kasus serupa dapat diminimalisir.
Penting untuk diingat, bahwa memutus mata rantai perkawinan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga melibatkan peran aktif dari masyarakat dan keluarga. Dengan bersama-sama, diharapkan anak-anak Indonesia dapat menikmati hak-hak mereka sepenuhnya, termasuk mendapatkan pendidikan, serta membangun masa depan yang lebih baik bagi diri mereka.
Berbagai pihak diharapkan terus berupaya menjaga anak-anak dari praktik-praktik yang mengancam hak dan masa depan mereka. Sebab, anak-anak adalah aset berharga bagi masa depan bangsa dan berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka, tanpa terhalang oleh keputusan yang diambil secara tergesa-gesa dan tidak tepat.