JAKARTA - Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Percepatan transformasi digital, khususnya dalam teknologi informasi dan komunikasi, telah membawa perubahan signifikan dalam cara kita berinteraksi dan menjalani kehidupan. Namun, perubahan ini juga membawa dampak yang tidak terduga, salah satunya adalah fenomena disrupsi digital yang kian terasa di berbagai sektor, termasuk sektor finansial. Artikel ini akan mengupas dampak dari disrupsi digital, terutama tantangan finansial yang dihadapi generasi muda, serta bagaimana media sosial menjadi polarisasi baru untuk judi dan pinjaman online.
Mengupas Disrupsi Digital
Disrupsi digital dapat dipahami sebagai fenomena perubahan besar yang merambah ke berbagai industri akibat inovasi dan teknologi digital. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disrupsi berarti mencabut dari akar atau merombak secara mendasar. Konsep ini pertama kali diusung oleh Clayton M. Christensen dalam bukunya "Innovator’s Dilemma" pada tahun 1997, menggambarkan bagaimana teknologi baru memaksa perusahaan untuk mengganti cara operasional konvensional dengan metode yang lebih inovatif.
Perubahan ini telah merambah ke dalam kehidupan sehari-hari kita, mulai dari cara bertransaksi hingga bagaimana kita menjalankan aktivitas sehari-hari. Contoh konkret dapat dilihat dari kebiasaan menggunakan layanan M-Banking, QRIS, dan E-Wallet untuk keperluan transaksi. Pandemi Covid-19 pun mempercepat transisi ini dengan memaksa banyak sektor, termasuk pendidikan, untuk beralih ke platform digital.
Peran Media Sosial sebagai Polarisasi
Media sosial memiliki peran yang sangat krusial dalam penyebaran informasi, termasuk yang negatif. Survei yang dilakukan oleh Populix pada 2023 menunjukkan bahwa 84% responden pernah melihat iklan judi online, dan 63% menyatakan iklan tersebut muncul hampir setiap kali mereka mengakses internet. Platform seperti Instagram, YouTube, dan Facebook menjadi saluran utama penyebaran iklan-iklan ini.
Tantangan serupa juga terjadi pada pinjaman online. Iklan pinjaman online, baik legal maupun ilegal, berseliweran di media sosial, menawarkan kemudahan dan kecepatan yang menggoda. Hal ini memicu perilaku konsumtif yang tinggi, di mana masyarakat tergiur untuk mengambil pinjaman tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang. Kelemahan dari pinjaman online ini adalah mempermudah akses ke dana tanpa syarat ketat seperti lembaga konvensional, yang sebenarnya dapat menjerumuskan konsumen ke dalam jeratan utang.
Generasi Muda dan Pengaruh Teknologi Digital
Generasi muda, yang meliputi Generasi Z dan post-Z, sangat rentan terhadap pengaruh teknologi digital. Berdasarkan survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023, penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5%, dengan Generasi Z menyumbang 87,02%. Sayangnya, paparan teknologi ini tak sedikit membawa mereka ke situs-situs judi dan aplikasi pinjaman online.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan bahwa per Juni 2023, 10.91 juta penerima pinjaman online berusia 19-34 tahun, dengan total nilai pinjaman mencapai Rp26.87 triliun. Selain itu, 8.8 juta orang tercatat bermain judi online, dengan 80% di antaranya berasal dari masyarakat bawah yang didominasi kaum muda.
Generasi Muda sebagai Masyarakat Risiko
Generasi muda saat ini bisa digolongkan sebagai "masyarakat risiko", istilah yang dicetuskan oleh Ulrich Beck. Mereka menghadapi ketidakpastian ekonomi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil, banyak dari mereka yang baru memulai karier atau membangun keluarga, menciptakan kebutuhan finansial yang tidak sedikit.
Inklusi teknologi digital juga mempermudah akses terhadap platform berisiko seperti pinjaman online dan judi, yang menawarkan keuntungan instan namun mengabaikan konsekuensi jangka panjang. Inilah yang menjadikannya sebagai masyarakat risiko yang rentan terhadap keputusan finansial impulsif.
Tanggung Jawab dan Tantangan
Penting bagi generasi muda untuk menyadari betapa besar peran teknologi digital dalam membentuk gaya hidup finansial mereka. Pendidikan dan kesiapan finansial harus ditingkatkan agar mereka bisa memanfaatkan teknologi demi keuntungan yang sehat dan berkelanjutan. Ini merupakan tantangan besar dalam era disrupsi digital, di mana informasi banyak tersedia, namun tanpa kebijaksanaan, bisa menjadi pedang bermata dua.
Kemajuan teknologi seharusnya menjadi alat yang mempermudah dan memperkaya kualitas hidup, bukan sebaliknya. Dengan sikap bijak dan kritis terhadap semua kelebihan dan kekurangan, generasi muda bisa menghindari jebakan sistem digital yang ada dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.