JAKARTA - Di tengah semakin padatnya lalu lintas penumpang yang dilayani KRL Jogja–Solo dan kereta bandara YIA, PT Kereta Api Indonesia (Persero) tetap mempertahankan operasional Kereta Api Prambanan Ekspres (KA Prameks) untuk rute Jogja–Kutoarjo dan sebaliknya. Keputusan ini tidak hanya dilandasi pertimbangan teknis, tetapi juga sebagai bentuk respons atas kebutuhan transportasi masyarakat yang masih tinggi di jalur tersebut.
Meski tidak semasif jumlah perjalanan KRL Jogja–Solo, eksistensi KA Prameks dalam melayani rute Jogja–Kutoarjo tetap mendapatkan perhatian serius dari PT KAI. Hal ini menjadi bagian dari komitmen perusahaan dalam memastikan akses transportasi antarkota tetap terjaga, terlebih bagi masyarakat yang bergantung pada moda ini untuk kegiatan harian mereka.
Pilihan untuk terus mengoperasikan KA Prameks bukan semata soal angka, tetapi lebih kepada pemenuhan kewajiban sosial dan pemerataan pelayanan. Tidak semua rute dapat dijangkau KRL maupun kereta bandara, dan inilah ruang yang tetap diisi oleh KA Prameks.
Dengan tetap dijalankannya KA Prameks, PT KAI menunjukkan sensitivitasnya terhadap kebutuhan masyarakat di luar kawasan utama. Meskipun secara jumlah rute tidak sebanyak layanan KRL Jogja–Solo atau kereta bandara, kehadiran KA Prameks dalam rute Jogja–Kutoarjo justru menjadi alternatif yang penting, khususnya bagi pengguna reguler yang membutuhkan jadwal tetap, tarif terjangkau, dan rute langsung tanpa transit.
“Selain menyediakan transportasi KRL Jogja Solo dan sebaliknya, PT KAI masih mempertahankan operasional KA Prameks untuk tujuan Jogja Kutoarjo dan Kutoarjo Jogja. Hal ini mengingat masih tingginya permintaan layanan rute tersebut,” terang pihak KAI dalam keterangan resminya.
Keputusan strategis ini sekaligus menunjukkan bahwa pendekatan pelayanan yang dilakukan KAI tidak sepenuhnya berorientasi pada volume penumpang semata, tetapi juga mempertimbangkan distribusi layanan yang merata dan menjangkau berbagai kelompok masyarakat.
Di sisi lain, PT KAI juga memahami bahwa kebutuhan transportasi publik di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya tidak bersifat homogen. Ada segmen tertentu yang lebih cocok dilayani oleh KRL karena frekuensi tinggi dan kecepatan, sementara yang lain tetap membutuhkan layanan kereta lokal seperti KA Prameks yang telah lama dikenal masyarakat, khususnya di jalur Jogja–Kutoarjo.
Dengan keberadaan KA Prameks, konektivitas antarwilayah tetap terjaga. Rute ini memiliki peran penting sebagai penghubung antara daerah-daerah dengan pusat aktivitas di Yogyakarta. Banyak pengguna KA Prameks berasal dari kawasan Kutoarjo dan sekitarnya yang bekerja, belajar, atau memiliki kepentingan rutin ke Yogyakarta, namun tetap memerlukan moda transportasi yang terjangkau dan nyaman.
Meski demikian, harus diakui bahwa secara volume, layanan KA Prameks masih kalah dibandingkan KRL Jogja–Solo maupun kereta bandara YIA. Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta menjadi alasan untuk menghentikan layanan. Justru dari sini, terlihat adanya keseimbangan kebijakan yang diambil PT KAI, antara efisiensi operasional dan pemerataan akses publik terhadap layanan transportasi.
“Meski demikian jumlah rute ini tergolong sedikit dibandingkan KRL Jogja Solo maupun kereta bandara YIA,” tulis KAI dalam penjelasan selanjutnya.
Perbedaan jumlah perjalanan ini sebenarnya merupakan cerminan dari segmentasi pasar yang berbeda. KRL Jogja–Solo dirancang untuk melayani rute padat dengan frekuensi tinggi, sedangkan KA Prameks mengisi celah kebutuhan masyarakat yang tidak sepenuhnya terakomodasi oleh layanan KRL atau kereta bandara.
Selain itu, KA Prameks juga memiliki nilai historis dan kedekatan emosional dengan masyarakat. Sejak diluncurkan, KA ini telah menjadi pilihan utama bagi warga yang melakukan perjalanan antarkota di wilayah selatan Jawa Tengah dan DIY. Maka tidak mengherankan jika eksistensinya masih dijaga oleh PT KAI, sebagai bagian dari warisan layanan publik yang tetap relevan hingga kini.
Dalam jangka panjang, PT KAI tetap berupaya menjaga efisiensi dengan memperhitungkan okupansi, biaya operasional, dan kebutuhan pelanggan. Namun demikian, ada rute-rute tertentu yang memang tidak dapat dihapus begitu saja tanpa menimbulkan dampak sosial. Dan KA Prameks termasuk di antaranya.
Penting dicatat, bahwa strategi PT KAI dalam mempertahankan layanan ini tidak dilakukan secara stagnan. Ada evaluasi berkala, pengamatan tren penumpang, dan kemungkinan integrasi ke moda lain jika diperlukan. Namun selama masih ada permintaan yang signifikan, dan layanan ini dinilai penting bagi mobilitas masyarakat, maka kehadirannya akan tetap dipertahankan.
Kebijakan seperti ini menunjukkan bagaimana PT KAI menyeimbangkan antara tuntutan modernisasi layanan dengan keberpihakan kepada pengguna lama yang masih memerlukan moda tradisional. Dalam konteks pembangunan transportasi yang inklusif, pendekatan seperti ini menjadi sangat relevan—tidak hanya fokus pada metropolitan, tetapi juga menjangkau kawasan pendukungnya.
Dengan demikian, keberadaan KA Prameks Jogja–Kutoarjo bukan hanya sekadar layanan sisa dari masa lalu, melainkan bagian dari strategi berkelanjutan untuk menjamin hak masyarakat atas layanan transportasi yang setara, merata, dan sesuai kebutuhan mereka.