JAKARTA - Langkah konkret pemerintah dalam memperluas distribusi energi, khususnya elpiji bersubsidi 3 kilogram, mulai menyentuh elemen kelembagaan ekonomi rakyat. Salah satu kebijakan strategis yang kini dikembangkan adalah menjadikan Koperasi Desa dan Kelurahan (Kopdes/Kopkel) Merah Putih sebagai bagian dari subpangkalan distribusi LPG 3 kg. Kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan sistem distribusi yang lebih efektif dan dekat dengan masyarakat akar rumput, terutama di wilayah pedesaan dan pinggiran kota.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pihaknya telah memberikan ruang revisi peraturan agar Kopdes Merah Putih bisa menjalankan peran baru sebagai subpangkalan resmi dalam penyaluran LPG subsidi. Ini merupakan bentuk nyata pemberdayaan terhadap koperasi sebagai institusi ekonomi kerakyatan, yang selama ini menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi di tingkat desa dan kelurahan.
“Mereka (Kopdes Merah Putih) kami kasih revisi ruang untuk menjadi subpangkalan,” ujar Bahlil ketika dijumpai di Jakarta.
Dengan diberikannya wewenang tersebut, koperasi lokal akan semakin memiliki peran penting dalam rantai distribusi energi nasional. Pemerintah memandang bahwa pelibatan Kopdes atau Kopkel sebagai subpangkalan bukan semata strategi distribusi, namun juga bagian dari agenda besar pemberdayaan ekonomi rakyat. Subpangkalan koperasi dapat memperpendek jalur distribusi LPG 3 kg sehingga lebih efisien dan tepat sasaran.
Namun, keterlibatan Kopdes Merah Putih sebagai subpangkalan tidak serta-merta dilakukan tanpa pengawasan dan ketentuan. Menteri Bahlil menekankan bahwa efektivitas dan produktivitas dalam penyerapan LPG 3 kg di subpangkalan harus tetap menjadi perhatian utama koperasi yang ditunjuk. Mereka tidak hanya menjalankan fungsi niaga, tetapi juga harus berperan sebagai mitra pemerintah dalam memastikan distribusi energi subsidi berjalan tepat guna.
“Harus tetap memperhatikan efektivitas dan produktivitas dari penyerapan LPG di subpangkalan,” kata Bahlil melanjutkan.
Efektivitas yang dimaksud mencakup kemampuan subpangkalan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara merata, menghindari penumpukan pasokan, serta meminimalisasi praktik penyalahgunaan distribusi LPG subsidi. Sedangkan produktivitas mencakup kapasitas koperasi dalam mengelola stok, melayani konsumen, dan menjalankan operasional distribusi yang transparan dan akuntabel.
Skema penunjukan Kopdes Merah Putih sebagai subpangkalan juga dipandang sebagai solusi atas permasalahan distribusi LPG di wilayah-wilayah tertentu yang selama ini mengalami kendala jangkauan maupun pengawasan. Dengan menjadikan koperasi lokal sebagai pelaku distribusi tingkat akhir, maka peluang untuk mempersempit jarak antara penyalur dan masyarakat menjadi lebih besar. Hal ini juga membuka ruang terciptanya lapangan kerja lokal, sekaligus meningkatkan ekonomi desa melalui aktivitas niaga LPG yang legal dan tersistem.
Lebih jauh, kebijakan ini juga selaras dengan semangat kedaulatan energi dan pemerataan akses energi di seluruh wilayah Indonesia. Melalui pemberdayaan koperasi desa dan kelurahan, distribusi LPG bersubsidi diharapkan lebih mudah dikontrol, baik dari sisi harga eceran tertinggi maupun dari segi penyalurannya yang tidak boleh menyimpang dari sasaran utama: masyarakat berpenghasilan rendah.
Langkah ini turut memperkuat posisi koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Dengan diberi kepercayaan menjadi subpangkalan, koperasi tidak hanya mengelola komoditas pertanian atau simpan pinjam saja, tetapi juga menjadi bagian penting dari sistem distribusi energi nasional. Transformasi peran ini membuka ruang baru dalam tata kelola koperasi modern yang adaptif terhadap kebutuhan zaman, sekaligus memberi peluang peningkatan pendapatan yang sah dan berkelanjutan bagi anggota koperasi.
Tak hanya itu, pelibatan Kopdes Merah Putih dalam distribusi LPG 3 kg juga menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendorong kolaborasi antara entitas negara dengan lembaga masyarakat dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Artinya, negara tidak melulu harus hadir melalui birokrasi, tetapi bisa mempercayakan tugas pelayanan energi kepada organisasi-organisasi masyarakat yang punya struktur dan legalitas kuat seperti koperasi.
Dari sisi implementasi, tentu akan diperlukan serangkaian proses pembinaan, verifikasi, serta pengawasan berkala terhadap koperasi yang ditunjuk. Pemerintah pusat dan daerah dipastikan akan bersinergi dalam memastikan bahwa setiap Kopdes atau Kopkel yang menjalankan fungsi subpangkalan memiliki kapasitas yang memadai, baik dalam aspek administrasi, logistik, hingga pelaporan penyaluran.
Kebijakan ini juga membuka kesempatan bagi daerah-daerah lain untuk mengusulkan Kopdes atau Kopkel-nya agar ikut serta menjadi bagian dari sistem subpangkalan nasional. Dengan syarat mampu menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab dan sesuai peraturan yang berlaku. Semakin banyak koperasi yang terlibat, semakin merata pula distribusi energi hingga ke pelosok, dan semakin berkurang potensi terjadinya kelangkaan LPG subsidi.
Pemerintah menyadari bahwa tantangan dalam distribusi energi tidak hanya terkait teknis pengiriman, tetapi juga menyangkut kepercayaan dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, pelibatan Kopdes Merah Putih diharapkan menjadi titik awal pembenahan sistem distribusi LPG 3 kg secara menyeluruh, dengan tetap berpijak pada prinsip keberpihakan terhadap rakyat kecil.
Dengan semangat kolaboratif dan penguatan institusi ekonomi lokal, kebijakan ini diharapkan memberi dampak ganda: distribusi energi yang lebih merata serta penguatan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat. Pemerintah terus mendorong terciptanya sistem distribusi yang efisien, transparan, dan berbasis kemandirian komunitas dalam mengelola sumber daya energi nasional.