JAKARTA - Perhatian terhadap kualitas dan keamanan transportasi laut kembali mencuat setelah peristiwa tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali. Menyikapi kejadian ini, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS), secara tegas memberikan pandangannya terkait berbagai persoalan mendasar yang selama ini belum tertangani secara optimal dalam layanan angkutan penyeberangan nasional.
Bambang Haryo menilai bahwa insiden tersebut merupakan cerminan nyata dari lemahnya pengawasan dan minimnya standarisasi keselamatan kapal yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam setiap layanan transportasi publik, terutama moda laut yang membawa ribuan nyawa setiap harinya. Tidak hanya menyoroti aspek teknis dan keselamatan, BHS juga menekankan bahwa persoalan tarif menjadi bagian penting dalam membangun sistem transportasi laut yang layak dan manusiawi.
Menurut BHS, salah satu faktor mendasar yang berkontribusi terhadap kondisi layanan yang tidak maksimal adalah ketertinggalan dalam penyesuaian tarif penyeberangan. Ia menegaskan bahwa tarif saat ini sudah tidak lagi mencerminkan kondisi biaya operasional yang sesungguhnya di lapangan. Ketimpangan ini membuat operator kapal berada dalam posisi sulit untuk memenuhi standar pelayanan dan keselamatan minimum sebagaimana seharusnya.
Ia menjelaskan bahwa percepatan penyesuaian tarif tidak semata-mata soal keuntungan operator, tetapi lebih pada upaya menciptakan layanan angkutan penyeberangan yang aman dan efisien. Tanpa penyesuaian, operator sulit memenuhi biaya pemeliharaan rutin, peningkatan teknologi keselamatan, dan penyediaan sumber daya manusia yang terlatih.
Dalam pandangannya, transportasi laut di Indonesia memiliki peran vital sebagai penghubung antarwilayah, terutama di daerah kepulauan yang tidak memiliki alternatif moda lain. Oleh karena itu, kualitas layanan kapal penyeberangan harus menjadi perhatian utama, karena menyangkut hajat hidup masyarakat secara langsung.
Lebih lanjut, BHS juga menyoroti sistem tiket penyeberangan yang dinilainya masih memiliki banyak celah. Ia menyampaikan bahwa sistem tiket elektronik yang saat ini diterapkan belum sepenuhnya mampu menjamin keteraturan dan akuntabilitas dalam layanan. Menurutnya, integrasi teknologi perlu diperkuat agar sistem tiket tidak hanya sebagai alat transaksi, melainkan juga menjadi bagian dari sistem pengendalian dan pengawasan keselamatan.
Ia mencontohkan, tiket seharusnya dapat terintegrasi dengan sistem manifest penumpang dan kendaraan yang akurat, sehingga jumlah muatan dapat diketahui secara pasti sebelum kapal diberangkatkan. Hal ini penting untuk mencegah kelebihan kapasitas, yang kerap menjadi faktor penyebab kecelakaan laut.
Dalam konteks keselamatan, BHS menggarisbawahi bahwa masih banyak kapal yang belum memenuhi standar keselamatan internasional. Ia menekankan perlunya audit menyeluruh terhadap kelayakan kapal, termasuk usia kapal, kualitas pelampung, sistem navigasi, hingga kompetensi awak kapal. Menurutnya, keselamatan pelayaran tidak bisa ditawar dan harus menjadi syarat mutlak setiap kapal yang beroperasi.
Ia menambahkan bahwa kehadiran pemerintah harus lebih kuat dalam mengatur dan mengawasi seluruh aspek operasional angkutan penyeberangan. Regulasi yang ketat, disertai pengawasan yang konsisten, menjadi kunci agar insiden seperti tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya tidak kembali terulang di masa mendatang.
Dalam penuturannya, BHS juga mendorong agar dana dari penyesuaian tarif nantinya benar-benar diarahkan untuk perbaikan layanan dan keselamatan. Ia menekankan pentingnya transparansi dan pengawasan terhadap alokasi anggaran tersebut agar tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya di lapangan.
Selain itu, BHS turut mengajak seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, operator kapal, hingga masyarakat, untuk bersama-sama membangun budaya keselamatan dalam transportasi laut. Ia meyakini bahwa pembenahan sistem angkutan penyeberangan harus dilakukan secara holistik dan menyeluruh, tidak bisa hanya menunggu kejadian demi kejadian baru bertindak.
Tak lupa, ia juga menyentuh pentingnya edukasi kepada masyarakat sebagai pengguna jasa agar mereka memiliki pemahaman yang benar tentang hak dan kewajiban dalam menggunakan transportasi laut. Edukasi ini, menurutnya, akan membuat masyarakat lebih sadar terhadap aspek keselamatan, mulai dari kepatuhan pada kapasitas muatan hingga perilaku tertib selama pelayaran.
Peran legislatif, lanjut BHS, akan terus diperkuat dalam mengawal kebijakan dan pengawasan terhadap layanan angkutan laut. Ia berkomitmen untuk terus menyuarakan perbaikan sistem transportasi penyeberangan, baik melalui jalur regulasi maupun advokasi kepada kementerian terkait.
Ia juga menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya memiliki standar angkutan laut yang dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain. Namun sayangnya, kondisi saat ini masih jauh dari harapan. Banyak kapal yang masih beroperasi dalam kondisi minim fasilitas keselamatan, dan operator yang terjebak dalam sistem tarif yang tidak rasional.
Oleh sebab itu, BHS mendorong semua pihak untuk tidak menunda lagi upaya perbaikan. Keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam menyeberang dari satu pulau ke pulau lainnya bukanlah suatu kemewahan, tetapi hak yang harus dijamin oleh negara.
Dengan demikian, insiden KMP Tunu Pratama Jaya harus dijadikan momentum evaluasi menyeluruh atas sistem transportasi laut nasional. Bukan hanya sebagai duka atau pelajaran sesaat, tetapi sebagai pemicu reformasi nyata dalam sektor angkutan penyeberangan yang lebih aman, modern, dan berpihak pada masyarakat.