JAKARTA - Kehangatan dalam sebuah dialog sederhana kerap menyimpan pesan besar yang tak terduga. Itulah yang tergambar dalam sebuah video berdurasi 2 menit 1 detik yang baru-baru ini menjadi pembicaraan hangat di ruang digital. Video tersebut menampilkan perbincangan antara komika Abdur Arsyad dengan Sultan Tidore, H. Husain Alting Sjah. Namun bukan kelakar atau tawa ringan yang menjadi inti sorotan, melainkan sebuah pernyataan jujur dan lugas dari sang sultan yang memicu perhatian publik.
Dalam suasana yang tampak santai dan bersahabat, Sultan Tidore membuka kisah yang tidak biasa. Ia mengungkapkan adanya pertemuan dengan dua menteri dari pemerintahan pusat yang secara langsung menawarinya akses terhadap pengelolaan sumber daya alam di wilayah kekuasaannya, termasuk sumber daya yang selama ini menjadi primadona, yakni tambang nikel.
“Jadi ketika ada dua menteri datang ke saya dan tanya, ‘Sultan mau apa?’,” ujar Sultan Tidore, dalam cuplikan video tersebut.
Pengakuan ini tidak hanya menggambarkan kedekatan sang sultan dengan lingkaran kekuasaan di tingkat nasional, tetapi juga membuka mata banyak pihak tentang bagaimana pendekatan terhadap daerah—khususnya yang kaya sumber daya alam—kerap dimulai dengan tawaran-tawaran yang menggoda dari pusat kekuasaan.
Meski disampaikan dalam format perbincangan santai, pernyataan Sultan Husain Alting Sjah menyiratkan dinamika politik dan ekonomi yang kompleks. Ia tidak serta merta menjawab dengan permintaan pribadi ataupun kepentingan sempit. Sebaliknya, jawaban yang ia berikan mencerminkan sikap dan nilai-nilai yang dipegangnya dalam mengelola tanggung jawab atas tanah kelahirannya.
Pernyataan itu mengundang tafsir yang luas di tengah publik, mulai dari bentuk pengakuan keberpihakan pada masyarakat adat hingga kritik terselubung terhadap kebijakan eksploitasi sumber daya yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada lingkungan dan kesejahteraan warga lokal.
Video ini pertama kali diunggah oleh akun TikTok bernama @kaksProduction. Meski berdurasi singkat, potongan video tersebut viral di berbagai platform media sosial dan mengundang diskusi mendalam di kolom komentar, forum digital, hingga media arus utama.
Netizen merespons dengan beragam sudut pandang. Ada yang memuji keberanian dan ketegasan Sultan Tidore dalam menjaga martabat adat dan wilayahnya, sementara yang lain menyoroti betapa dekatnya dunia politik nasional dengan penguasaan sumber daya alam daerah. Tidak sedikit pula yang mengaitkan pengakuan ini dengan isu-isu eksploitasi lingkungan yang selama ini menjadi perdebatan di berbagai wilayah kaya tambang, termasuk di kawasan Indonesia Timur.
Pernyataan Sultan Husain juga menjadi bahan refleksi atas hubungan pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam banyak kasus, daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah justru tidak menjadi pihak yang paling merasakan manfaat dari hasil eksploitasi tersebut. Masyarakat lokal seringkali hanya menjadi penonton, sementara keuntungan besar dinikmati oleh segelintir elite dan pemilik modal.
Momentum dari video ini pun memunculkan diskursus baru mengenai pentingnya penguatan peran pemimpin lokal, termasuk tokoh adat, dalam pengambilan keputusan strategis menyangkut wilayahnya. Dialog antara pemimpin lokal dan pemerintah pusat seharusnya tidak semata menjadi transaksi kepentingan jangka pendek, tetapi sarana untuk merumuskan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Dalam konteks ini, sosok Sultan Tidore tampil bukan hanya sebagai simbol budaya dan adat, melainkan juga sebagai representasi suara masyarakat adat yang selama ini seringkali terpinggirkan dari meja pengambilan keputusan. Ia tidak meminta proyek besar, tidak pula menjawab dengan angka-angka, tetapi menyampaikan pesan moral yang kuat tentang keadilan dalam mengelola kekayaan negeri.
Rekaman dialog ini juga menunjukkan bahwa medium komunikasi informal seperti konten video bisa menjadi saluran penting dalam menyampaikan realitas yang tidak selalu tersentuh oleh laporan resmi atau pemberitaan media arus utama. Dalam keheningan dan tanpa teriakan, justru muncul pernyataan yang menggugah kesadaran kolektif tentang siapa yang seharusnya paling berhak atas tanah dan kekayaan alamnya.
Jika ditelusuri lebih dalam, wilayah kekuasaan Tidore memang kaya akan sumber daya, termasuk tambang nikel yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi incaran berbagai pihak. Potensi ekonomi ini menjadikan kawasan tersebut sebagai titik strategis dalam peta investasi nasional, sekaligus menempatkannya dalam posisi rawan terhadap tekanan eksternal dan internal.
Namun pernyataan dari Sultan Husain Alting Sjah mengingatkan kembali bahwa di balik kekayaan itu, ada nilai-nilai budaya, adat, dan hak masyarakat yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Sikap ini juga sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu keberlanjutan lingkungan dan pentingnya pembangunan yang berlandaskan pada hak-hak komunitas lokal. Dalam konteks itu, suara sultan bukan hanya pernyataan personal, tetapi juga suara kolektif yang mencerminkan harapan dan keprihatinan rakyat kecil yang hidup berdampingan dengan kekayaan alamnya.
Reaksi publik atas video ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin peka terhadap praktik pengelolaan sumber daya yang tidak adil. Semakin banyak yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan masyarakat dalam setiap keputusan yang menyangkut tanah dan kehidupan mereka.
Melalui video pendek ini, tersampaikan pesan panjang tentang relasi kuasa, hak adat, dan masa depan sumber daya alam Indonesia. Dialog sederhana antara seorang komika dan sultan ternyata mampu memantik kesadaran luas, bahkan mungkin lebih dari sekadar pidato-pidato formal yang sering kali terlupakan.