Ketegangan geopolitik yang meningkat antara India dan Pakistan menimbulkan kekhawatiran serius terhadap stabilitas ekspor komoditas utama Indonesia, terutama batu bara dan minyak sawit (CPO). Konflik dua negara Asia Selatan ini dikhawatirkan berdampak langsung pada volume ekspor Indonesia, mengingat India merupakan salah satu mitra dagang strategis Indonesia dalam sektor energi dan pertanian.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), India tercatat sebagai negara pengimpor batu bara terbesar dari Indonesia pada tahun 2024, dengan total volume mencapai 108 juta ton. Sementara untuk periode kuartal I tahun 2025, ekspor batu bara ke India sudah mencapai 25,5 juta ton. Namun, situasi perang yang memanas membuat prospek perdagangan ini menjadi tidak menentu.
“Jika konflik tersebut berkepanjangan, maka permintaan India akan batu bara dari Indonesia bisa turun,” ujar Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, saat dimintai tanggapan terkait dampak konflik tersebut.
Irwandy menambahkan, anggaran India yang sebelumnya dialokasikan untuk pengadaan energi dan pembangunan infrastruktur bisa dialihkan untuk kebutuhan militer jika ketegangan dengan Pakistan meningkat. Hal ini tentu akan memengaruhi kemampuan India dalam mengimpor batu bara dalam jumlah besar dari Indonesia.
“Situasi perang dapat menyebabkan anggaran India ke depan hanya terfokus pada perang, sehingga terdapat pengaruh pada pembelian batu bara dari Indonesia,” tegas Irwandy.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Konflik bersenjata antara dua negara bersenjata nuklir itu tidak hanya berdampak secara politik dan keamanan kawasan, tetapi juga memiliki potensi besar mengganggu jalur logistik internasional serta memicu fluktuasi harga komoditas global. Indonesia sebagai salah satu eksportir utama batu bara dan sawit tentu berada dalam posisi rentan.
Selain batu bara, minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) juga diperkirakan ikut terdampak. India selama ini menjadi pasar ekspor utama bagi CPO Indonesia. Jika situasi memburuk, bukan tidak mungkin pengiriman CPO ke India akan terhambat, baik karena penurunan permintaan maupun gangguan logistik.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menilai bahwa pemerintah perlu melakukan langkah antisipatif agar ekspor komoditas strategis Indonesia tidak terpukul terlalu dalam.
“Pemerintah harus segera menyusun skenario alternatif, termasuk diversifikasi pasar ekspor untuk batu bara dan CPO. India memang mitra besar, tapi kita tidak bisa menaruh semua telur dalam satu keranjang,” kata Bhima.
Menurutnya, Indonesia bisa memperluas pasar ekspor ke negara-negara lain seperti Tiongkok, Bangladesh, Vietnam, dan negara-negara di Afrika yang mulai meningkatkan kebutuhan energi dan pangan.
Dampak dari konflik ini juga bisa berimbas pada harga batu bara dunia. Ketidakpastian geopolitik biasanya membuat harga komoditas melonjak. Namun dalam kasus ini, karena potensi permintaan menurun dari pasar utama seperti India, harga justru bisa tertekan jika suplai tidak seimbang dengan permintaan.
Sementara itu, pelaku industri batu bara di dalam negeri juga mulai waspada. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, mengatakan bahwa pihaknya terus memantau perkembangan geopolitik tersebut dan telah berkoordinasi dengan pemerintah.
“Para eksportir tentu cemas jika ekspor ke India terganggu. Kami berharap konflik ini tidak berkepanjangan. Tapi yang terpenting adalah kesiapan kita untuk mengalihkan pasar bila perlu,” ujar Hendra.
Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan dukungan diplomatik agar jalur perdagangan dengan India tetap terbuka, meskipun dalam kondisi yang tidak menentu.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan melalui Dirjen Perdagangan Luar Negeri juga menyatakan tengah menyusun strategi mitigasi risiko ekspor. Salah satunya adalah memperkuat kerja sama dengan negara mitra dagang alternatif dan mendorong efisiensi logistik ekspor agar biaya tidak meningkat tajam jika rute pengiriman harus diubah.
Di sisi lain, Pakistan yang juga merupakan pengimpor batu bara dari Indonesia, meski dalam jumlah yang lebih kecil dibanding India, bisa ikut terdampak. Namun karena volume ekspor ke Pakistan tidak signifikan, dampaknya diperkirakan tidak sebesar gangguan dari sisi India.
Dengan situasi yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, para analis menilai bahwa kebijakan perdagangan Indonesia ke depan harus lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika global.
“Kita hidup di era ketidakpastian geopolitik. Perang, konflik dagang, perubahan iklim – semua itu harus menjadi bagian dari perencanaan jangka menengah dan panjang ekspor nasional,” ujar Bhima.
Untuk jangka pendek, para pelaku industri diminta untuk aktif melakukan penjajakan pasar baru dan memanfaatkan peluang ekspor non-tradisional. Pemerintah juga didesak untuk membuka lebih banyak perjanjian dagang bilateral dan multilateral yang bisa membuka akses pasar yang lebih luas.
Dengan batu bara dan CPO sebagai dua komoditas unggulan ekspor Indonesia, stabilitas hubungan luar negeri menjadi krusial. Pemerintah Indonesia diharapkan terus memantau situasi India-Pakistan dan memperkuat peran diplomasi ekonomi dalam menjaga keberlanjutan ekspor ke negara-negara mitra.