Rencana Pengemudi Ojol Masuk Kategori UMKM Dinilai Sebagai Upaya Pemutihan Eksploitasi Digital oleh Migrant Watch

Kamis, 01 Mei 2025 | 17:12:26 WIB

JAKARTA – Rencana Menteri Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, untuk mengategorikan pengemudi ojek online (ojol) sebagai pelaku UMKM menuai penolakan keras dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, yang menyebut langkah tersebut sebagai bentuk pemutihan praktik eksploitatif terhadap pekerja digital.

Dalam pernyataan tertulis yang disampaikan kepada media di Jakarta pada Kamis 1 April 1015, Aznil Tan mengungkapkan bahwa langkah pemerintah mengklasifikasikan ojol sebagai pelaku UMKM bukan hanya keliru secara definisi, namun juga berpotensi memperdalam ketimpangan struktural yang selama ini membelenggu para pengemudi ojek online dan kurir digital.

“Ini bukan solusi. Ini adalah upaya memutihkan praktik eksploitatif. Para pengemudi bekerja di bawah kendali ketat algoritma, ada target, ada penalti tersembunyi. Ini semua adalah karakteristik pekerja, bukan pelaku usaha mandiri,” tegas Aznil.

Relasi Kuasa yang Tidak Setara

Menurut Aznil, memasukkan ojol ke dalam kategori UMKM mencerminkan pemahaman yang menyesatkan terhadap realitas kerja di sektor gig economy. Dalam pandangannya, para pengemudi ojek online tidak memiliki kontrol atas aspek fundamental dalam pekerjaan mereka, seperti tarif layanan, jumlah order, serta mekanisme penalti atau penghargaan yang diberikan oleh platform digital.

Ia menjelaskan bahwa perusahaan aplikasi transportasi berbasis daring (aplikator) memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan sistem kerja. Para pengemudi, meski disebut sebagai “mitra”, tidak memiliki posisi tawar yang seimbang, dan ketergantungan mereka terhadap aplikator menciptakan relasi kerja yang lebih menyerupai hubungan antara buruh dan majikan, bukan kemitraan bisnis yang setara.

“Bagaimana mungkin mereka disebut UMKM sementara mereka sepenuhnya bergantung pada aplikator yang mengatur tarif, membatasi akses order, dan menentukan pendapatan tanpa ada perundingan setara? Ini bentuk pengingkaran terhadap relasi kuasa yang timpang antara perusahaan digital dengan para pengemudi,” ujar Aznil dengan nada tegas.

Pengaburan Masalah Struktural

Lebih lanjut, Migrant Watch menilai wacana UMKMisasi ojol hanya akan menjadi distraksi dari persoalan utama yang dihadapi pekerja digital: yaitu eksploitasi dan ketidakamanan kerja. Dengan mengaburkan status kerja mereka sebagai pelaku UMKM, pemerintah dinilai gagal mengakui kenyataan hubungan kerja yang sesungguhnya terjadi.“Pemerintah harus berani mengakui realitas ini. Relasi antara platform dan pengemudi bukan kemitraan, melainkan ketergantungan satu arah yang eksploitatif. Mengaburkannya berarti menutupi ketidakadilan yang nyata,” kata Aznil.

Pernyataan Aznil ini mencerminkan kekhawatiran banyak pihak terhadap tren deregulasi dan fleksibilisasi tenaga kerja yang kini menjangkiti sektor ekonomi digital. Dalam banyak kasus, perusahaan digital lepas dari kewajiban memberikan perlindungan tenaga kerja karena pekerja mereka tidak dikategorikan sebagai karyawan tetap.

Tuntutan Regulasi yang Adil

Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis pekerja digital mendesak pemerintah untuk segera menyusun regulasi yang lebih adil dan berpihak kepada para pengemudi. Regulasi tersebut diharapkan mampu memastikan perlindungan terhadap upah minimum, jaminan sosial, dan hak-hak kerja lainnya yang selama ini luput diberikan oleh perusahaan aplikator.

Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah pengakuan legal formal terhadap status pekerja digital sebagai pekerja kontrak atau buruh, bukan sebagai pelaku usaha mikro. Dengan pengakuan tersebut, para pengemudi ojol akan mendapatkan akses terhadap perlindungan hukum dan sosial sebagaimana mestinya.

“Mereka bukan pemilik usaha mandiri dengan modal dan strategi sendiri. Mereka hanya menjalankan sistem kerja yang sudah ditentukan dari atas. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah seharusnya melindungi, bukan menyesatkan,” tambah Aznil.

Konteks Global

Fenomena relasi kerja yang eksploitatif dalam ekonomi digital bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, wacana tentang status hukum pekerja gig seperti ojol dan kurir makanan juga menjadi perdebatan yang kompleks. Di Eropa, misalnya, beberapa negara telah mengambil langkah untuk menetapkan pekerja platform sebagai karyawan, sehingga berhak atas upah layak, cuti, dan asuransi kesehatan.

Langkah serupa didorong untuk diterapkan di Indonesia agar tidak terjadi pembiaran terhadap praktik ketidakadilan yang dibiarkan berkepanjangan. Pemerintah, menurut Migrant Watch, perlu belajar dari praktik internasional dan menyusun kebijakan yang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi nasional.

Rencana mengategorikan pengemudi ojol sebagai pelaku UMKM semestinya ditinjau ulang secara mendalam dan melibatkan berbagai pihak, khususnya perwakilan pengemudi dan organisasi masyarakat sipil. Alih-alih memberikan solusi, kebijakan tersebut dikhawatirkan justru menutup peluang perbaikan kesejahteraan bagi jutaan pengemudi yang bergantung hidup pada sektor ini.

Kritik tajam dari Migrant Watch menjadi alarm bahwa pemerintah tidak bisa lagi menutup mata terhadap kompleksitas dan ketimpangan dalam relasi kerja digital. Keberanian untuk mengakui kenyataan dan menyusun kebijakan berbasis keadilan sosial menjadi kebutuhan mendesak di tengah arus digitalisasi yang terus meluas.

Terkini

Cara Ajukan KPR Subsidi Bank Mandiri 2025 Lengkap

Rabu, 10 September 2025 | 16:23:44 WIB

MIND ID Dorong Transformasi Mineral Hijau Nasional

Rabu, 10 September 2025 | 16:23:42 WIB

Rekomendasi Kuliner Puyuh Goreng Lezat di Malang

Rabu, 10 September 2025 | 16:23:40 WIB

Rekomendasi Kuliner Dimsum Halal Enak di Bandung

Rabu, 10 September 2025 | 16:23:39 WIB