JAKARTA - Harga minyak mentah dunia kembali melanjutkan tren koreksi pada perdagangan pagi hari, Rabu, 30 April 2025. Tekanan terhadap harga terjadi seiring meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar terhadap prospek perlambatan ekonomi global akibat ketegangan perang dagang, serta laporan yang menunjukkan kenaikan persediaan minyak mentah di Amerika Serikat (AS).
Mengacu pada data perdagangan pukul 07.22 WIB, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juni 2025 yang diperdagangkan di New York Mercantile Exchange (NYMEX) tercatat berada di level US$ 60,32 per barel, atau mengalami penurunan sebesar 0,17% dibandingkan posisi penutupan sehari sebelumnya yang berada di US$ 60,42 per barel.
Koreksi ini memperpanjang tren penurunan harga yang sudah terjadi selama beberapa sesi perdagangan terakhir, menandai kegelisahan pasar terhadap sejumlah indikator ekonomi makro global yang mulai menunjukkan perlambatan.
Kekhawatiran Perang Dagang Bayangi Pasar Komoditas
Salah satu faktor utama yang menjadi pemicu melemahnya harga minyak saat ini adalah meningkatnya ketegangan dalam hubungan dagang antara negara-negara utama, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Ketegangan tersebut memicu kekhawatiran akan terhambatnya arus perdagangan global, yang pada akhirnya dapat berdampak langsung terhadap permintaan energi secara keseluruhan.
“Pasar mulai mencermati bahwa eskalasi perang dagang akan berdampak terhadap permintaan global terhadap minyak. Jika pertumbuhan ekonomi melambat, maka konsumsi energi—khususnya bahan bakar minyak—juga akan menurun,” ujar seorang analis energi senior.
Efek domino dari perang dagang ini telah mulai tercermin pada data-data ekonomi dari beberapa negara industri besar, di mana angka pertumbuhan manufaktur, konsumsi, dan ekspor menunjukkan perlambatan. Hal tersebut memberi tekanan tambahan bagi pasar minyak yang selama beberapa waktu terakhir memang sudah menghadapi volatilitas tinggi.
Laporan Kenaikan Stok Minyak AS Memicu Tekanan Tambahan
Selain faktor geopolitik dan perang dagang, pelemahan harga minyak juga diperparah oleh laporan terbaru dari industri energi AS yang menunjukkan kenaikan signifikan dalam persediaan minyak mentah. Laporan mingguan American Petroleum Institute (API) menyebutkan adanya peningkatan cadangan minyak mentah domestik, yang secara historis menjadi sinyal negatif bagi pasar.
Kenaikan stok ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pasar minyak akan kembali mengalami kelebihan pasokan (oversupply), terutama jika tidak dibarengi dengan permintaan yang kuat dari sektor industri dan transportasi.
“Ketika data menunjukkan peningkatan stok minyak, itu berarti suplai lebih banyak daripada kebutuhan. Ini memberikan tekanan langsung terhadap harga karena pasar khawatir akan terjadi surplus,” ungkap analis.
Pelaku Pasar Cermati Respons OPEC+ dan Data Ekonomi Lanjutan
Di tengah tekanan harga yang terjadi, pelaku pasar kini mengalihkan perhatian mereka ke potensi respons dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC+), yang selama ini memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas pasar dengan pengaturan kuota produksi.
Spekulasi mengemuka bahwa OPEC+ kemungkinan akan kembali mempertimbangkan pengurangan produksi atau memperpanjang kebijakan pemangkasan yang ada guna menstabilkan harga. Namun, keputusan semacam itu bergantung pada dinamika pasar dalam beberapa minggu ke depan dan data ekonomi tambahan yang akan dirilis.
Selain itu, data dari Energy Information Administration (EIA) AS yang akan dirilis dalam waktu dekat juga menjadi fokus utama pelaku pasar. Data ini diharapkan memberikan gambaran yang lebih komprehensif terkait tren produksi, permintaan, dan persediaan energi di AS.
Dampak Langsung ke Negara Berkembang dan Importir Energi
Fluktuasi harga minyak global seperti ini memiliki dampak langsung terhadap negara-negara berkembang yang masih bergantung pada impor energi, termasuk Indonesia. Penurunan harga minyak bisa menjadi berkah bagi neraca perdagangan karena menekan biaya impor migas. Namun di sisi lain, bagi negara-negara produsen minyak atau yang memiliki sektor migas dominan dalam PDB-nya, penurunan harga bisa menurunkan pendapatan negara.
“Jika tren penurunan ini terus berlanjut, maka negara importir bisa mengambil manfaatnya dalam jangka pendek. Tapi kita tetap harus waspada, karena penurunan tajam bisa memengaruhi stabilitas sektor keuangan global,” kata seorang ekonom.
Harga Minyak Masih Rawan Volatilitas
Dalam beberapa bulan terakhir, pasar minyak global memang telah memasuki fase volatilitas tinggi, dipicu oleh berbagai isu geopolitik, dinamika produksi, hingga kebijakan moneter dari bank sentral utama dunia seperti The Federal Reserve dan European Central Bank (ECB). Fluktuasi nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama lainnya juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi harga minyak di pasar spot internasional.
Pasar saat ini masih menunggu kejelasan dari beberapa aspek: bagaimana penyelesaian perang dagang antara kekuatan ekonomi dunia, bagaimana arah kebijakan moneter global, dan sejauh mana keseimbangan antara pasokan dan permintaan bisa dipertahankan.