JAKARTA - Puluhan warga dari Desa Bekambit, Kecamatan Pulau Laut Timur, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, menggelar aksi damai di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Selatan pada Selasa 22 April 2025. Aksi ini dilakukan sebagai respons terhadap pembatalan lebih dari 700 Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah warga Transmigrasi Rawa Indah yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Pembatalan SHM yang melibatkan ratusan warga tersebut diduga berkaitan dengan aktivitas pertambangan yang dijalankan oleh PT Sebuku Sejaka Coal (SSC), sebuah perusahaan batubara yang memiliki izin usaha pertambangan di wilayah tersebut. Keputusan sepihak ini memicu reaksi keras dari warga, karena mereka merasa dirugikan, baik secara ekonomi maupun sosial.
Pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM): Permohonan Perusahaan Batubara
Menurut informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, pembatalan 700 lebih SHM warga tersebut dilakukan oleh BPN Kalimantan Selatan setelah menerima permohonan dari PT Sebuku Sejaka Coal (SSC), yang menyatakan bahwa tanah tersebut termasuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) batubara. IUP-OP ini diterbitkan pada tahun 2011 oleh Bupati Kotabaru saat itu. Namun, yang menjadi permasalahan adalah, tanah yang sekarang digunakan oleh warga eks transmigrasi tersebut sudah dikuasai dan dihuni oleh mereka sejak tahun 1989, dan bahkan telah memperoleh SHM pada tahun 1990.
Warga yang terkena dampak pembatalan SHM merasa bahwa keputusan tersebut tidak hanya mengancam hak-hak mereka atas tanah yang telah mereka miliki selama lebih dari tiga dekade, tetapi juga menimbulkan kerugian besar secara sosial dan ekonomi. Mereka berpendapat bahwa proses pembatalan ini sangat cacat prosedural dan terkesan melibatkan unsur mafia tanah yang mengutamakan kepentingan pihak perusahaan tambang daripada hak-hak warga.
Warga Mencari Keadilan di Banjarbaru
Sebagai bentuk protes dan tuntutan keadilan, sekitar 29 warga yang mewakili ribuan warga eks transmigrasi berangkat dari Desa Bekambit menuju Kota Banjarbaru, tempat kantor BPN Kalsel berada. Warga yang tergabung dalam aksi damai ini menuntut agar BPN segera memberikan kejelasan terkait pembatalan SHM yang mereka anggap tidak sah dan merugikan. Dalam aksi tersebut, mereka juga menyuarakan dugaan adanya mafia tanah yang bermain di balik keputusan tersebut.
"Kami sudah tinggal di tanah ini sejak 1989, dan kami sudah mendapatkan SHM pada tahun 1990. Namun tiba-tiba saja tanah kami dibatalkan hak miliknya hanya karena permohonan dari perusahaan tambang yang baru masuk beberapa tahun terakhir. Ini jelas sangat merugikan kami," kata salah satu warga yang tergabung dalam aksi damai tersebut.
Sementara itu, warga juga menyampaikan kekhawatiran mereka terkait adanya diskriminasi hukum yang mereka alami, serta adanya kriminalisasi terhadap beberapa orang yang dianggap "melawan" aktivitas pertambangan batubara di wilayah mereka. Pada tahun 2022, beberapa warga yang berusaha melawan masuknya tambang batubara ke wilayah mereka bahkan dilaporkan terlibat dalam kasus hukum yang mereka anggap tidak adil.
Protes Terhadap Oknum Aparat Kepolisian
Selain itu, dalam aksi damai tersebut, warga juga mengecam tindakan oknum aparat kepolisian dari Polres Kotabaru yang diduga terlibat dalam kriminalisasi warga pada tahun 2022, ketika tambang batubara mulai beroperasi di wilayah mereka. Mereka menyebut adanya pemaksaan hukum dan intimidasi terhadap warga yang menentang kehadiran perusahaan tambang di daerah tersebut.
Warga yang merasa terdiskriminasi menganggap bahwa upaya hukum yang mereka tempuh tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Menurut mereka, tindakan yang diambil oleh oknum aparat tersebut lebih mengarah pada kepentingan perusahaan tambang daripada melindungi hak-hak warga yang sah atas tanah mereka.
Tuntutan Keadilan Warga Eks Transmigrasi
Warga yang tergabung dalam aksi damai tersebut menuntut agar BPN Kalsel membatalkan keputusan pembatalan SHM yang mereka anggap cacat hukum. Mereka juga meminta agar pemerintah setempat melakukan audit transparansi terhadap proses pemberian izin usaha pertambangan batubara yang diduga melibatkan konspirasi dan mafia tanah. Mereka menginginkan keadilan agar tanah mereka yang sudah dihuni selama puluhan tahun bisa dipertahankan sebagai hak milik yang sah.
Selain itu, mereka juga berharap agar masalah ini segera ditangani secara serius oleh pihak yang berwenang, baik dari pemerintah daerah, BPN, maupun kepolisian. Warga khawatir bahwa jika pembatalan SHM tersebut dibiarkan begitu saja, hal ini akan menciptakan ketidakpastian hukum yang lebih luas dan merugikan banyak pihak, terutama mereka yang sudah lama tinggal di tanah tersebut.
Reaksi dari Pemerintah dan BPN Kalsel
Sementara itu, pihak BPN Kalimantan Selatan belum memberikan pernyataan resmi terkait aksi damai yang dilakukan oleh warga Bekambit tersebut. Namun, sejumlah sumber di kantor BPN Kalsel mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mempelajari lebih lanjut terkait proses pembatalan SHM tersebut. Pihak BPN Kalsel juga berjanji akan segera memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai kebijakan tersebut dalam waktu dekat.
Pemerintah daerah Kotabaru juga diharapkan dapat turun tangan dalam menyelesaikan permasalahan ini dengan bijak, mengingat masalah ini tidak hanya menyangkut hak atas tanah, tetapi juga melibatkan kepentingan sosial yang lebih luas. Jika tidak segera diselesaikan, dikhawatirkan akan terjadi ketegangan yang lebih besar antara warga, pihak perusahaan tambang, dan pemerintah.
Kasus yang Memerlukan Kejelasan Hukum
Pembatalan ratusan SHM yang melibatkan warga Desa Bekambit ini menambah daftar panjang masalah terkait sengketa tanah yang melibatkan kepentingan perusahaan besar. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya kejelasan hukum dalam menyelesaikan sengketa pertanahan, terlebih lagi ketika melibatkan hak-hak warga yang sudah puluhan tahun menguasai tanah tersebut.
Warga menginginkan agar proses pembatalan SHM tersebut dievaluasi ulang dengan melibatkan berbagai pihak yang berkompeten, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diperlakukan secara tidak adil. Kejelasan hukum dan proses yang transparan sangat diperlukan untuk menciptakan rasa aman bagi warga, serta mencegah terjadinya ketidakadilan yang lebih luas di masa depan.