JAKARTA - Ketidakpastian regulasi kembali menjadi sorotan tajam setelah konsorsium raksasa yang dipimpin oleh LG dikabarkan menarik diri dari proyek pengembangan baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) senilai 11 triliun won di Indonesia. Langkah ini disebut-sebut sebagai pukulan telak bagi ambisi pemerintah Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasokan global kendaraan listrik.
Proyek besar tersebut awalnya digadang-gadang sebagai tonggak penting dalam pengembangan industri EV nasional. Namun keputusan mengejutkan dari pihak LG dan mitra-mitranya membuat banyak pihak mempertanyakan konsistensi kebijakan pemerintah dalam menggarap sektor strategis ini. Hingga saat ini, alasan pasti pengunduran diri konsorsium belum dipublikasikan secara resmi, namun sejumlah pengamat menilai akar permasalahan terletak pada ketidakpastian regulasi dan kurangnya kepastian hukum.
"Dengan mundurnya konsorsium tersebut tentu merupakan pukulan bagi ambisi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasokan baterai global. Namun, hal ini tidak serta merta mengakhiri prospek industri ini," ujar Pengamat Energi, Selasa 22 April 2025.
Menurut Surya, pemerintah Indonesia memang memiliki visi besar untuk menjadikan negeri ini sebagai pusat produksi baterai EV dunia, terutama karena kekayaan sumber daya nikel yang merupakan bahan baku utama baterai lithium-ion. Namun, ia mengingatkan bahwa investor global sangat sensitif terhadap dinamika regulasi dan ketidakpastian kebijakan.
"Perubahan regulasi yang tidak terduga atau ketidakjelasan dalam implementasi kebijakan dapat menciptakan ketidakpastian bagi investor. Hal ini membuat mereka ragu untuk melanjutkan komitmen jangka panjang," lanjut Surya Darma.
Tantangan Investasi di Industri EV
Indonesia memang telah melakukan sejumlah langkah besar untuk mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, termasuk melalui Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Namun, dalam pelaksanaannya, berbagai perubahan kebijakan teknis dan hambatan birokrasi masih menjadi kendala.
Sejumlah pelaku industri mengeluhkan proses perizinan yang kompleks, koordinasi lintas kementerian yang belum optimal, serta kebijakan fiskal yang kerap berubah-ubah. Selain itu, insentif investasi yang ditawarkan pemerintah dinilai masih kalah bersaing dibandingkan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.
"Investor memerlukan jaminan kepastian hukum jangka panjang, tidak cukup hanya dengan visi besar. Tanpa kejelasan tersebut, Indonesia akan sulit bersaing merebut perhatian investor global di sektor EV," kata seorang pelaku industri otomotif yang enggan disebutkan namanya.
Dampak Mundurnya LG dan Konsorsium
Mundurnya konsorsium LG diprediksi akan berdampak luas, terutama dalam hal kepercayaan investor terhadap iklim investasi Indonesia. Proyek tersebut sebelumnya mencakup pembangunan pabrik baterai di kawasan industri terpadu Batang dan kawasan Indonesia Battery Corporation (IBC), yang diharapkan dapat menciptakan ribuan lapangan kerja serta mendongkrak daya saing ekspor Indonesia.
Beberapa analis menyebut langkah mundur ini sebagai sinyal peringatan bagi pemerintah agar lebih serius dalam menciptakan ekosistem industri yang kondusif, transparan, dan stabil.
"Pemerintah harus belajar dari kasus ini dan segera membenahi regulasi agar lebih ramah terhadap investasi asing jangka panjang," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dalam pernyataannya baru-baru ini.
Peluang Masih Terbuka
Meski dihantam kabar mundurnya LG, para pakar menilai peluang Indonesia untuk tetap menjadi pemain penting di industri EV masih terbuka lebar. Selain potensi sumber daya alam yang besar, pemerintah juga telah menjalin sejumlah kemitraan strategis dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan China.
"Ini bukan akhir dari cerita. Pemerintah masih punya peluang untuk memperbaiki ekosistem investasi dan membuktikan komitmen jangka panjangnya di sektor ini," tegas Surya Darma. Ia berharap pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh dan menghadirkan regulasi yang mendukung pertumbuhan industri baterai dan kendaraan listrik secara berkelanjutan.
Ke depan, kolaborasi antara sektor publik dan swasta akan menjadi kunci sukses pengembangan industri ini. Diperlukan transparansi, kejelasan roadmap industri, serta insentif fiskal dan non-fiskal yang kompetitif untuk menarik kembali minat investor global.
Dengan pasar kendaraan listrik global yang terus berkembang dan meningkatnya permintaan terhadap baterai lithium, Indonesia dinilai masih memiliki waktu dan peluang untuk berbenah dan mengejar ketertinggalan.
"Stabilitas kebijakan adalah kunci. Jika kita bisa menjamin hal itu, maka Indonesia bisa menjadi magnet investasi di sektor EV dunia," pungkas Surya Darma.