Peta Jalan Transportasi Berbasis Hidrogen di Indonesia Terhambat Regulasi dan Insentif

Senin, 17 Februari 2025 | 17:59:49 WIB
Peta Jalan Transportasi Berbasis Hidrogen di Indonesia Terhambat Regulasi dan Insentif

Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa peta jalan untuk pengembangan transportasi berbasis hidrogen di Indonesia masih mengalami hambatan. Hingga kini, rencana tersebut belum bisa diselesaikan karena terkendala masalah regulasi dan insentif yang belum rampung. Hal ini menjadi sorotan utama dalam rangka mendorong implementasi teknologi hidrogen yang lebih ramah lingkungan di bidang transportasi.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa pengembangan infrastruktur dan penggunaan hidrogen sebagai energi untuk transportasi masih harus menunggu penyelesaian Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). "Dasar regulasi yang belum ada membuat kita mandek," ungkap Eniya seperti dikutip dari Antara pada Senin, 17 Februari 2025.

Regulasi dan Insentif: Hambatan Utama

RUU EBET menjadi kunci penting dalam memberikan insentif untuk kendaraan berbasis hidrogen. Didalamnya, terdapat pasal yang menekankan bahwa para pelaku atau badan usaha yang melakukan mitigasi iklim atau menurunkan emisi bakal mendapat insentif melalui emisi karbon. Namun, realisasi dari rancangan undang-undang ini masih memerlukan pembahasan lebih lanjut.

"Belum ada dasar hukum yang mengalihkan insentif dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Nantinya, jika sudah ada dasar hukumnya, baru bisa kita upayakan bagaimana model implementasinya," ujar Eniya. Menurutnya, regulasi yang jelas dan insentif yang tepat merupakan langkah vital dalam mewujudkan transportasi berbasis hidrogen di Indonesia.

Biaya Implementasi yang Masih Tinggi

Saat ini, transportasi berbasis hidrogen dianggap masih mahal dan membutuhkan insentif agar dapat diimplementasikan secara luas. Sebagai perbandingan, Jepang telah mulai memasarkan kendaraan berbasis hidrogen dengan harga terjangkau, yakni sebesar 1,7 juta Yen atau setara dengan Rp180.908.900. Harga tersebut bisa lebih murah jika banyak produsen otomotif di Indonesia mulai memproduksi kendaraan hidrogen secara lokal.

Eniya meyakini bahwa dengan peningkatan produksi lokal, harga kendaraan berbasis hidrogen di Indonesia dapat ditekan. "Jika produksi dilakukan secara lokal, harga bisa lebih kompetitif," jelasnya. Optimisme ini didukung oleh keberadaan dua Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen (SPBH) di Senayan, Jakarta Selatan dan Karawang, Jawa Barat yang diharapkan akan menjadi stimulus untuk pengembangan kendaraan jenis hidrogen.

Langkah Ke Depan

Di tengah tantangan yang ada, pemerintah menargetkan peningkatan infrastruktur pendukung agar transportasi hidrogen dapat segera terealisasi. Penerapan teknologi ini nantinya bisa menjadi solusi bagi pengurangan emisi karbon di Indonesia. Upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Kementerian ESDM akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait guna mempercepat proses regulasi dan menetapkan insentif yang diperlukan. "Kami terus berupaya agar rencana ini dapat segera direalisasikan," kata Eniya menutup penjelasannya.

Dengan adanya pengembangan transportasi berbasis hidrogen, diharapkan Indonesia dapat lebih memanfaatkan potensi energi terbarukan yang ada. Langkah ini tidak hanya penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat, tetapi juga untuk menggerakkan ekonomi melalui industri otomotif hijau yang berkelanjutan.

Dalam prosesnya, pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh pihak terkait telah dilibatkan dalam pembahasan regulasi agar bisa mendapatkan solusi yang komprehensif dan bersifat inklusif. Jika semua elemen bekerja sama, peta jalan ini dapat segera terealisasi dan memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.

Terkini