JAKARTA - Perdagangan digital di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Bank Indonesia mencatat bahwa nilai transaksi e-commerce melonjak signifikan dari Rp205,5 triliun pada 2019 menjadi Rp487,01 triliun pada 2024. Angka ini mencerminkan bagaimana masyarakat semakin terbiasa dengan transaksi daring.
Tahun 2021 menjadi titik lonjakan tertinggi dengan pertumbuhan mencapai 50,7 persen, didorong oleh pandemi COVID-19 yang mempercepat adopsi digital. Meski sempat melambat pada 2023, tren positif kembali terlihat pada 2024, menandakan sektor ini memiliki daya tahan kuat sekaligus prospek cerah untuk jangka panjang.
Tantangan Pajak dalam Ekosistem Digital
Pertumbuhan e-commerce yang begitu besar tentu membawa tantangan baru, terutama dalam aspek perpajakan. Banyak pelaku usaha di sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), khususnya yang beroperasi lewat marketplace, belum sepenuhnya tercatat dalam sistem perpajakan formal.
Permasalahan ini bukan hanya terkait kepatuhan atau niat membayar pajak, tetapi juga menyangkut mekanisme pemungutan yang selama ini kurang terintegrasi dengan ekosistem digital. Akibatnya, potensi penerimaan negara dari sektor ini belum tergarap maksimal.
PMK-37/2025 Sebagai Jawaban Kebijakan
Menjawab tantangan tersebut, pemerintah menerbitkan PMK-37/2025. Aturan ini mengatur penunjukan pihak lain sebagai pemungut, tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 Final dari pedagang dalam negeri yang berjualan melalui marketplace.
Latar belakang kebijakan ini jelas: mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan, memperkuat kepastian hukum, memastikan rasa keadilan, sekaligus meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan. Penting dipahami bahwa PMK-37/2025 bukanlah pajak baru, melainkan penyempurnaan mekanisme yang menyesuaikan diri dengan ekosistem digital yang terus berkembang.
Prinsip Keadilan dalam Regulasi Pajak Digital
Kebijakan baru ini tetap mengedepankan prinsip keadilan. Pemerintah memberikan kelonggaran kepada pedagang kecil, misalnya pedagang orang pribadi dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta setahun dibebaskan dari pemungutan pajak final. Syaratnya, mereka menyampaikan surat pernyataan atau memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan atau Pemungutan PPh 22.
Bagi wajib pajak yang menggunakan tarif umum sesuai ketentuan UU PPh, sifat pajaknya tidak final dan masih dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan. Dengan cara ini, pemerintah memastikan kebijakan tidak membebani pelaku usaha kecil, sekaligus mendorong kepatuhan wajib pajak yang lebih besar.
Dampak terhadap Pelaku Usaha Marketplace
Penerapan PMK-37/2025 akan memberi dampak nyata terhadap para pelaku usaha, terutama mereka yang aktif di marketplace. Di satu sisi, mekanisme pemungutan yang lebih jelas akan menambah kepastian hukum. Di sisi lain, aturan ini juga memberikan transparansi agar setiap pedagang memiliki perlakuan pajak yang setara.
Bagi marketplace sebagai pihak pemungut, peraturan ini mempertegas tanggung jawab untuk membantu negara dalam proses administrasi pajak. Hal ini juga menegaskan posisi marketplace bukan hanya sebagai platform perdagangan, tetapi juga bagian penting dari ekosistem fiskal modern.
Keberadaan PMK-37/2025 diharapkan mampu menciptakan sistem perpajakan digital yang lebih sehat dan berkeadilan. Dengan keterlibatan marketplace sebagai pemungut, potensi kebocoran penerimaan negara dapat ditekan, sementara transparansi transaksi digital semakin terjaga.
Di sisi lain, kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dengan memperkuat sistem perpajakan di sektor digital, Indonesia bukan hanya menjaga keberlanjutan pembangunan, tetapi juga meneguhkan posisinya sebagai negara dengan tata kelola fiskal yang adaptif dan modern.
Transformasi perdagangan digital di Indonesia telah membuka peluang besar sekaligus menimbulkan tantangan baru. Melalui PMK-37/2025, pemerintah berusaha memastikan agar pertumbuhan sektor ini berjalan seimbang dengan kewajiban perpajakan yang adil.
Kebijakan ini hadir bukan untuk membebani, tetapi untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisiensi bagi semua pihak. Dengan dukungan masyarakat dan pelaku usaha, aturan ini diharapkan menjadi langkah maju dalam memperkuat fondasi ekonomi digital Indonesia.