JAKARTA - Krisis gas yang kini melanda memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi energi di Indonesia jika terlalu menggantungkan harapan pada sektor gas. Greenpeace Indonesia menilai energi fosil berbasis gas tidak hanya mahal, tetapi juga sulit diandalkan karena ketersediaannya tidak stabil.
Kondisi ini mempertegas bahwa gas bukanlah jawaban tepat untuk menjadi tumpuan dalam transisi menuju energi bersih. Ketika harga gas naik dan pasokan terganggu, banyak sektor yang harus menanggung beban, khususnya industri yang bergantung besar pada energi dalam proses produksinya.
Dampak Krisis Gas pada Industri Padat Energi
Lonjakan harga dan keterbatasan kuota gas menimbulkan efek berantai pada sejumlah industri penting. Greenpeace Indonesia menyoroti bahwa krisis ini memukul keras industri padat energi seperti kaca, keramik, baja, petrokimia, hingga pupuk. Semua sektor tersebut memiliki peran vital dalam mendukung kebutuhan masyarakat maupun pembangunan nasional.
Dengan biaya energi yang meningkat, beban produksi pun bertambah, sehingga daya saing industri nasional berisiko tergerus. Situasi ini menegaskan bahwa ketergantungan terhadap gas justru menjadi kelemahan ketika krisis pasokan dan harga tidak bisa dikendalikan.
Ketahanan Energi Indonesia Dipertanyakan
Greenpeace Indonesia menilai fakta yang terjadi bertolak belakang dengan narasi mengenai ketahanan energi yang sebelumnya disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Ketahanan energi sulit dicapai jika pondasi yang digunakan masih bergantung pada energi fosil yang mahal dan tidak stabil.
Krisis gas menjadi bukti nyata bahwa strategi energi yang ada saat ini masih rentan. Jika ketahanan energi adalah tujuan utama, maka semestinya Indonesia membangun sistem yang lebih berkelanjutan dengan mengurangi ketergantungan pada energi yang rawan gejolak.
Rencana Pemerintah Menambah Penggunaan Gas
Alih-alih mengevaluasi risiko dari krisis ini, Pemerintah Indonesia justru berencana meningkatkan penggunaan gas sebagai bahan bakar pembangkit listrik untuk sepuluh tahun mendatang. Greenpeace Indonesia menganggap rencana tersebut kontradiktif dengan kebutuhan jangka panjang.
Menambah porsi gas dalam bauran energi hanya akan memperpanjang ketergantungan terhadap fosil yang rapuh. Jika strategi ini tetap dijalankan, maka risiko krisis serupa akan berulang, dan dampaknya kembali dirasakan masyarakat maupun industri.
Energi Bersih Sebagai Jalan Keluar
Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa transisi menuju energi bersih harus segera dipercepat. Energi terbarukan seperti surya, angin, dan biomassa lebih stabil dalam jangka panjang, serta tidak rentan terhadap fluktuasi harga global. Selain itu, energi terbarukan semakin terjangkau dengan perkembangan teknologi dan potensi besar yang dimiliki Indonesia.
Krisis gas saat ini seharusnya menjadi momentum untuk beralih, bukan alasan untuk memperkuat ketergantungan pada energi fosil. Dengan energi bersih, ketahanan energi nasional dapat dibangun secara berkelanjutan tanpa terjebak pada masalah klasik yang muncul dari gas.
Saatnya Menegakkan Strategi Energi yang Berkelanjutan
Dari kondisi yang terjadi, jelas bahwa fondasi energi Indonesia sangat rapuh jika masih mengandalkan gas sebagai sumber utama. Greenpeace Indonesia mengingatkan bahwa ketahanan energi sejati hanya mungkin terwujud melalui pengembangan energi bersih yang stabil dan terjangkau.
Krisis gas tidak boleh diabaikan sebagai peristiwa sesaat, melainkan harus dijadikan pelajaran penting bagi arah kebijakan energi nasional. Keputusan untuk terus menambah porsi gas dalam pembangkit listrik berisiko besar bagi stabilitas energi di masa depan.
Sebaliknya, jika transisi energi bersih dijalankan dengan serius, Indonesia dapat mengamankan kebutuhan energi, menjaga daya saing industri, sekaligus melindungi lingkungan.