Rendahnya Literasi Finansial Hambat Penggunaan Aplikasi Keuangan Digital

Senin, 04 Agustus 2025 | 10:49:11 WIB
Rendahnya Literasi Finansial Hambat Penggunaan Aplikasi Keuangan Digital

JAKARTA - Meski teknologi keuangan digital berkembang pesat dan merambah berbagai lapisan masyarakat, fakta menunjukkan bahwa pemahaman publik terhadap keuangan pribadi masih belum sejalan dengan kemajuan tersebut. Penggunaan aplikasi keuangan yang kini menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern ternyata tidak selalu diiringi dengan literasi finansial yang memadai. Kondisi ini menimbulkan risiko baru bagi pengguna yang belum memahami cara kerja sistem keuangan digital, maupun konsekuensi yang mungkin timbul di balik kemudahan transaksi.

Tingkat literasi finansial masyarakat Indonesia masih jauh dari ideal. Survei menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan nasional baru mencapai 49,68 persen. Artinya, lebih dari separuh penduduk Indonesia belum memiliki pemahaman yang cukup tentang pengelolaan keuangan, pemetaan risiko, hingga aspek legal dari sebuah platform keuangan. Ini menjadi tantangan serius dalam mendorong inklusi keuangan yang sehat dan berkelanjutan.

Rendahnya literasi ini menempatkan masyarakat dalam posisi rentan, terutama ketika dihadapkan pada berbagai tawaran investasi atau layanan finansial yang terdengar menggiurkan. Akses yang mudah terhadap aplikasi keuangan digital, baik dalam bentuk dompet digital, pinjaman online, hingga platform investasi, sering kali disambut dengan antusias tanpa didasari pemahaman terhadap mekanisme, risiko, maupun legalitas dari produk tersebut.

Kemudahan akses ini telah menciptakan ilusi kontrol dan rasa percaya diri yang tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan memahami risiko. Banyak pengguna yang tergoda oleh janji keuntungan instan, tanpa mengetahui skema yang sesungguhnya berjalan di balik layar. Dalam banyak kasus, keputusan finansial diambil berdasarkan narasi media sosial yang belum tentu akurat atau didukung oleh data.

Informasi yang berseliweran di dunia maya pun menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, media sosial dan berbagai forum daring menawarkan akses cepat terhadap berita dan tren keuangan terbaru. Namun, di sisi lain, platform ini juga menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks atau informasi yang tidak memiliki dasar hukum maupun analisis finansial yang valid.

Dalam lingkungan digital yang penuh opini, tidak sedikit masyarakat yang kemudian terjebak dalam penilaian sepihak terhadap suatu platform keuangan. Tuduhan terhadap platform digital seperti “ponzi”, “money game”, atau “binary option” kerap kali muncul tanpa kajian menyeluruh. Pola tudingan semacam ini memperlihatkan adanya kesenjangan pemahaman yang signifikan antara pengguna dan teknologi keuangan yang mereka manfaatkan.

Kondisi ini bukan hanya berisiko menimbulkan kerugian finansial pribadi, tetapi juga bisa menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap ekosistem keuangan digital secara keseluruhan. Tanpa pemahaman mendasar tentang hak dan kewajiban sebagai pengguna, serta bagaimana sebuah sistem keuangan digital dikembangkan dan diawasi, masyarakat akan terus terombang-ambing oleh opini yang tidak utuh.

Salah satu aspek penting yang luput dari perhatian sebagian besar pengguna adalah legalitas dan struktur regulasi yang menaungi sebuah aplikasi keuangan. Banyak yang belum tahu cara memverifikasi status perizinan, atau mengecek legalitas operasional sebuah platform. Padahal, informasi ini tersedia secara terbuka dan dapat diakses jika masyarakat memiliki literasi dasar tentang cara mencari dan membaca data otoritatif.

Dalam konteks ini, edukasi keuangan menjadi kebutuhan mendesak. Literasi finansial bukan lagi sekadar kemampuan membaca angka atau mengenali produk perbankan, melainkan juga kemampuan berpikir kritis, menilai risiko, memahami hak konsumen, dan mengenali karakteristik platform yang sah. Tanpa itu, pertumbuhan ekosistem keuangan digital hanya akan membangun fondasi yang rapuh.

Tantangan ini harus direspons dengan kolaborasi lintas sektor, mulai dari regulator, pelaku industri, hingga institusi pendidikan dan media. Masyarakat membutuhkan panduan praktis yang dapat menjembatani akses teknologi dengan pemahaman yang realistis dan rasional terhadap uang dan risiko.

Seiring dengan meningkatnya popularitas aplikasi keuangan, penting untuk menciptakan lingkungan digital yang tidak hanya aman secara teknologi, tetapi juga sehat secara edukatif. Literasi digital dan literasi finansial harus berjalan beriringan agar pengguna tidak hanya mampu memanfaatkan teknologi, tetapi juga bisa melindungi diri dari potensi jebakan keuangan.

Peningkatan pemahaman ini juga harus menargetkan generasi muda, yang menjadi kelompok pengguna paling aktif di sektor keuangan digital. Edukasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan finansial yang bertanggung jawab dan membantu mereka membedakan antara instrumen investasi legal dan skema merugikan yang dibalut dalam tampilan modern.

Dengan pendekatan yang inklusif dan adaptif, hambatan literasi finansial ini bisa diatasi. Teknologi seharusnya menjadi jembatan untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya inklusif secara akses, tetapi juga cerdas dalam mengambil keputusan finansial.

Mendorong masyarakat untuk aktif belajar, mengecek, dan bertanya sebelum mengambil keputusan keuangan menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih tahan terhadap penipuan dan informasi menyesatkan. Literasi bukan hanya alat bertahan, melainkan juga senjata untuk melindungi masa depan finansial masyarakat Indonesia dalam ekosistem digital yang terus berubah.

Terkini

Film Sukma: Teror Gaib dan Obsesi Kecantikan

Selasa, 09 September 2025 | 16:24:10 WIB

BYD M6: MPV Listrik Modern dengan Kabin Luas dan Fitur Canggih

Selasa, 09 September 2025 | 16:24:09 WIB

Daihatsu Ayla Tipe M: Harga Terjangkau dan Spesifikasi Lengkap

Selasa, 09 September 2025 | 16:24:07 WIB

New Honda ADV160 RoadSync, Skutik Petualang Fitur Canggih

Selasa, 09 September 2025 | 16:24:03 WIB