JAKARTA - Kondisi industri asuransi umum di Indonesia dihadapkan pada tantangan struktural yang memerlukan perhatian serius. Isu-isu seperti tekanan dari pasar reasuransi global hingga margin underwriting yang kian menyempit menjadi sorotan utama para pelaku industri, terutama menjelang akhir 2025.
Dalam salah satu agenda pemaparan strategi industri, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, menegaskan bahwa tekanan terhadap margin operasional semakin sulit dihindari. Menurutnya, situasi tersebut tidak hanya bersumber dari kondisi internal industri asuransi nasional, namun juga sangat dipengaruhi oleh dinamika global yang berdampak langsung terhadap struktur biaya dan kapasitas reasuransi.
Salah satu isu yang paling signifikan adalah meningkatnya risiko yang tidak diimbangi oleh kenaikan premi secara proporsional. Akibatnya, margin underwriting—selisih antara premi yang diterima dan klaim yang dibayarkan—menjadi semakin ketat. Padahal, margin ini merupakan indikator utama dari efisiensi dan profitabilitas sebuah perusahaan asuransi.
“Underwriting margin makin ketat akibat peningkatan risiko tanpa diikuti kenaikan premi yang proporsional,” ujar Budi Herawan dalam penjelasannya.
Situasi ini diperburuk dengan kondisi pasar reasuransi global yang masih berada dalam fase hard market. Dalam kondisi seperti ini, tarif reasuransi mengalami lonjakan, sementara kapasitas yang tersedia justru terbatas. Ini menciptakan tekanan tambahan bagi perusahaan asuransi umum di Indonesia karena biaya proteksi risiko menjadi lebih mahal dan pilihan mitra reasuransi semakin sempit.
Hard market sendiri adalah siklus di industri reasuransi di mana penyedia proteksi risiko menerapkan harga tinggi karena tingginya klaim atau ketidakpastian global. Pada periode ini, risiko dinilai lebih mahal, dan hanya sedikit reasuradur yang bersedia menyediakan perlindungan dengan kapasitas besar. Bagi perusahaan asuransi di Indonesia, ini berarti harus menyesuaikan strategi bisnisnya agar tetap mampu menjaga kelangsungan layanan dan daya saing produk.
Dampak dari kondisi tersebut tidak hanya dirasakan oleh perusahaan asuransi besar, tetapi juga menyentuh para pelaku usaha kecil dan menengah di sektor ini. Dengan tarif reasuransi yang meningkat, perusahaan-perusahaan asuransi kecil harus berjuang keras menjaga kelangsungan bisnis dan menyeimbangkan struktur biaya operasional.
Selain tekanan dari pasar global, tantangan lainnya berasal dari lingkungan risiko yang terus berkembang. Munculnya risiko-risiko baru, baik yang bersifat digital seperti serangan siber maupun risiko iklim yang semakin tak terduga, membuat peta risiko berubah secara dinamis. Ini membutuhkan adaptasi cepat dari pelaku industri asuransi untuk tetap relevan dan tangguh di tengah perubahan.
Industri asuransi umum juga dituntut lebih aktif dalam mengembangkan produk yang adaptif terhadap risiko-risiko baru. Inovasi dalam bentuk produk asuransi berbasis teknologi digital, asuransi bencana, hingga asuransi siber menjadi kebutuhan mendesak. Sayangnya, proses inovasi ini tak bisa berjalan dengan optimal tanpa dukungan dari kapasitas reasuransi yang memadai.
Situasi tersebut menempatkan perusahaan asuransi pada posisi dilematis. Di satu sisi, mereka perlu menawarkan perlindungan yang luas dan mutakhir untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan dunia usaha. Di sisi lain, mereka harus tetap menjaga keberlanjutan bisnis di tengah tekanan biaya dari reasuradur yang kian ketat.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, AAUI terus mendorong kolaborasi antar pelaku industri, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk merumuskan kebijakan dan strategi jangka panjang yang mampu mengantisipasi perubahan lanskap risiko. Pendekatan seperti konsolidasi risiko antar perusahaan, digitalisasi proses klaim dan underwriting, serta efisiensi struktur bisnis menjadi langkah yang didorong guna memperkuat daya tahan industri.
Budi Herawan juga menyoroti pentingnya perusahaan asuransi untuk mulai menerapkan pengelolaan risiko berbasis data secara lebih terstruktur. “Industri harus membangun pemahaman risiko yang lebih akurat agar premi dapat disesuaikan dengan eksposur yang sebenarnya,” ungkapnya.
Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi, tetapi juga menjadi dasar untuk memperkuat kepercayaan reasuradur terhadap pasar Indonesia. Jika perusahaan asuransi mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki sistem mitigasi risiko yang andal, maka reasuradur global cenderung lebih terbuka dalam memberikan kapasitas yang lebih besar dengan tarif yang lebih kompetitif.
Peningkatan kolaborasi internasional juga menjadi salah satu strategi yang perlu diperkuat. Dalam banyak kasus, keterlibatan reasuradur asing membawa dampak positif terhadap peningkatan standar manajemen risiko dan transparansi dalam pengelolaan klaim. Namun, untuk menjalin kerja sama yang saling menguntungkan, perusahaan lokal harus mampu memenuhi ekspektasi kualitas data, governance, dan pengelolaan risiko yang diharapkan mitra global.
Lebih jauh, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya asuransi umum sebagai instrumen proteksi juga harus ditingkatkan. Dengan semakin banyak masyarakat dan pelaku usaha yang memahami manfaat asuransi, maka potensi pasar akan berkembang lebih luas. Hal ini akan membantu perusahaan asuransi dalam memperbesar basis premi dan pada akhirnya memperkuat posisi negosiasi terhadap reasuradur.
Secara keseluruhan, tantangan yang dihadapi industri asuransi umum di Indonesia hingga akhir 2025 merupakan kombinasi dari tekanan struktural global dan kebutuhan internal untuk bertransformasi. Perlu upaya kolektif dari seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan sistem asuransi yang adaptif, efisien, dan berkelanjutan. Dalam kerangka tersebut, menjaga keseimbangan antara pengelolaan risiko dan kebutuhan bisnis menjadi kunci utama bagi industri untuk bertahan dan berkembang.